Kekerabatan di antara
banyak kelompok Dayak, seperti Dayak Kenyah, Dayak Maloh, Iban, Dayak Ngaju,
dan Dayak Maanyan bersifat bilateral. Menurut Whittier dan Conley, orang Kenyah
memperhitungkan kerabatnya secara bilateral, dengan penekanan yang relatif
seimbang pada garis ibu (matrilineal) dan garis ayah (patrilineal). Freeman
melaporkan bahwa suku Iban biasanya dapat melacak keluarga mereka secara
bilateral sampai ke anak sepupu (Jawa: mindo), meskipun seseorang mungkin saja
dikenali dengan cara lain. Conley juga menyatakan bahwa seorang Kenyhah juga
bisa mengenali lebih banyak kerabat jauh, jika mereka bertempat tinggal di satu
lokasi atau saling berinteraksi.
Coney mengatakan bahwa
suku Kenyah mirip dengan suku Iban dalam hal penggunaan istilah-istilah yang
sama untuk mengenali kerabat mereka secara bilateral, dan hubungan yang
demikian setara sifatnya, baik bagi pihak laki-laki maupun pihak perempuan.
Sebagai contoh, istilah Pui dalah masyarakat Kenyah digunakan untuk menyebut
orangtua, baik dari pihak ayah maupun ibu.
Freeman menulis tentang
kekerabatan suku Iban dan menyoroti kaitan-kaitan antara rumah panjang dengan
sistem kekerabatan yang didasarkan pada bilek (apartemen/ruang besar/bilik).
Freeman mendapati bahwa dikalangan orang-orang Iban, keberlangsungan bilek
sebaga bagian dari rumah panjang dari waktu ke waktu menjadi bukti bahwa satu
keluarga batih tumbuh dan berkembang mengungguli keluarga lainnya bila mereka
tinggal dalam satu gugus yang utuh.
Menurut Freeman,
meskipun banyak keluarga bilek di rumah panjang saling berhubungan, tetapi hubungan yang sempurna di
antara semua keluarga dalam sebuah rumah panjang sangat jarang ditemui. Freedom
mengklaim bahwa “sebuah komunitas rumah panjang
merupakan sebuah konfederasi lokal yang sangat kokoh yang terbentuk
berdasarkan hubungan kekerabatan yang berasal dari satu keturunan, yang terdiri
dari serangkaian persekutuan yang terbentuk dari beberapa keluarga batih.”
Laporan Conley yang
memfokuskan klasifikasinya pada keluarga amin sebagai kekeraatan dasar di
kalangan suku Kenyah, bahwa organisasi keluarga suku Kenyah dan suku Iban
mengikuti pola yang serupa. Keluarga amin terdiri dari “ornag tua dan
anak-anak, termasuk suami atau istri dari anak perempuan atau anak laki-laki
mereka, dan anak-anak dari anak-anak mereka itu (cucu). Beberapa keluarga amin
bergabung bersama untuk membangun sebuah rumah panjang. Beberapa laki-laki dari
satu keluarga mungkin bergotong royong untuk membangun rumah-rumah keluarga
lain. Conley berpendapat bahwa beragam kegiatan keluarga dilakukan di dalam
satu kelompok. Menurutnnya lagi, keluarga batih adalah satu-satunya kelompok
keluarga yang kokoh di kalangan Kenyah.
Pola-pola tempat
tinggal suku Dayak telah berubah hingga ke titik yang juga telah mengubah
pola-pola kekerabatan tertentu dikalangan masyarakat Dayak. Misalnya, sebagian
orang tidak lagi tinggal dekat dengan keluarga mereka sebagaimana yang terjadi
pada masa sebelumnya di rumah-rumah panjang.
Masyarakat Kenyah
sangat terkenal dengan sistem penamaan (pemberi nama). Lebar menjelaskan bahwa
di kalangan suku Kenyah, nama seseorang berubah-ubah sejalan dengan perubahan
statusnya. Misalnya, berkaitan dengan kelahiran atau kematian seorang anak atau
anak-anak berikutnya. Menurut Whittier, seorang anak suku Kenyah membawa
namanya sendiri dan nama ayahnya, mengikuti garis keturunan sang ayah
(patrilineal), tetapi dia (perempuan atau laki-laki) juga bisa menggunakan
hubungan-hubungan dari garis perempuan atau ibunya untuk menguatkan garis keturunannya.
Akan tetapi jika seseorang menikah dan mem[unyai anak, maka namanya akan jarang
dipakai lagi.
Whittier melaporkan
bahwa jika orang itu mempunyai seorang cucu, maka awalan ‘Pe’ dan nama
pribadinya akan digunakan, dimana ‘Pe’ ini menunjukkan status terhormat sebagai
kakek/nenek. Menurut Geddes, suku Dayak Darat juga memiliki sistem penamaan
yang berbeda. Para orang tua Dayak mengambil nama mereka dari nama anak-anak
mereka, sedangkan orang Eropa mengambil nama orang tua merka sebagai nama
belakang mereka. Geddes mencotohkan : seorang anak laki-laki yang diberi nama
Bawur (nama pribadinya) akan tetapi dipanggil dengan sejumlah nama yang
berbeda-beda selama masahidupnya: suweh (bayi), baduput (kanak-kanak), bujang
(remaja), Amang Mali (bapaknya si Mali), lalu Babuk Ichau (kakeknya si Ichau).
Bagi orang-orang Dayak, sistem penamaan seperti itu telah menjadi simbol
kekhasan mereka, kendati sistem-sistem penanaman diberbagai kelompok Dayak sama
sekali tidak seragam.
Aturan-aturan
perkawinan Dayak juga berbeda-beda. Menurut Whittier, dikalangan orang-orang
Lepo Tau (subsuku Kenyah) perkawinan dlam satu golongan (class endogamy) lebih
disukai, khususnya untuk perkawinan pertama. Menurutnya, diantara sesama
bangsawan perkawinan saudara sepupu diperbolehkan, meskipun tidak dianjurkan
dan dapat dikenai denda. Perkawinan semaccam ini tidak diperbolehkan untuk
kalangan masyrakat/rakyat biasa, sedangkan perkawinan dengan sepupu-sepupu
selain saudara sepupu utama diijinkan bagi semua kelas. Whittier juga mencatat
bahwa bila anak-anak pernah tinggal di lamin yang sama, dengan mengabaikan ada
atau tidaknya pertalian darah, mereka dianggap saudara kandung dan mereka tidak
boleh kawin. Dalam komunitas iban, Freeman menulis, perkawinan di antara
kategori-kategori kerabat berikut ini dilarang dengan alasan tabunya perkawinan
incest.
- Semua
yang berasal dari satu keturunan keluarga bilek yang sama
- Saudara
kandung (baik yang penuh atau yang tiri), meskipun mereka berasal dari
keluarga bilek yang berbeda
- Semua
anak sedarah dan yang berhubungan sangat erat (yaitu sodara kandung hingga
sepupu jauh (jawa mindo) yang berasal dari satu generasi yang bertingkat
atau sebaya.
Perkawinan yang paling
disukai adalah “perkawinan dalam satu keturunan, tetapi perkawinan dalam
individu-individu yang tidak bertalian kerabat sama sekali, asalkan yang
bersangkutan tidak memiliki “noda keturunan orang jahat” dan bukan keturunan
budak dapat diterima. Perkawinan dikalangan suku iban adalah perkawinan
endogami. Terdapat juga bukti-bukti yang kuat mengenai perkawinan dalam satu
ruh panjang. Schiller juga mendapati bahwa perkawinan yang disukai oleh dayak
Naju adalah perkawinan dengan seorang kerabat dekat. Khususnya antara
sepupu-sepupu silang atau sepupu-sepupu sejajar mulai dari tingkat pertama
hingga ketiga.
Baik Lebar maupun
Freeman menulis bahwa mas kawin tidaklah penting dalam masyarakat iban.
Dikalangan suku dayak Manyan, upacara perkawinan disertai dengan “pembayaran
harga pengantin, yang terdiri atas uang, berapa gong, dan barang-barang pustaka
lainnya”.
Sedangkan mengenai
tempat tinggal setelah perkawinan, Conley menulis bahwa dikalangan masyarakat
Kenyah, tempat tinggal bersifat abilokal, bisa dikeluarga si istri, bisa juga
dikeluarga suami.
Ada sejumlah ragam dan
perbedaan yang penting diantara kelompok-kelompok dayak dalam hal cara
perhitungan kerabat dan sistem sistem penamaan. Singkatnya, dalam hal-hal yang
menyangkut praktik-praktik kekerabatan, sistem penamaan, dan penentuan tempat
tinggal setelah menikah, orang-orang Dayak bukanlah kelompok yang homogen. Lagipula
sistem kekerabatan bilateral yang biasa ditemuai dikalangan kelompok-kelompok
dayak pada kenyataannya juga ditemui dibanyak kelompok etnis lainnya di
Indonesia, dan bahkan di asia tenggara. Sistem kekerabatan suku jawapun
bersifat bilateral.
Meski tampaknya asumsi
bahwa sistem kekerabatan dayak bersifat bilateral telah diterima secara umum,
tetapi orang kurang memperhatikan nuansa-nuansa, misalnya, bahwa kendati
mungkin sistemnya bersifat bilateral tetapi dalam kehidupan sehari-hari penekanannya
kadang-kadang bisa mengacu pada garis ayah saja (pateral), dan kadang-kadang
beralih ke garis ibu (maternal).