Kamis, 09 Januari 2014

Sistem Kekerabatan Masyarakat Dayak

Kekerabatan di antara banyak kelompok Dayak, seperti Dayak Kenyah, Dayak Maloh, Iban, Dayak Ngaju, dan Dayak Maanyan bersifat bilateral. Menurut Whittier dan Conley, orang Kenyah memperhitungkan kerabatnya secara bilateral, dengan penekanan yang relatif seimbang pada garis ibu (matrilineal) dan garis ayah (patrilineal). Freeman melaporkan bahwa suku Iban biasanya dapat melacak keluarga mereka secara bilateral sampai ke anak sepupu (Jawa: mindo), meskipun seseorang mungkin saja dikenali dengan cara lain. Conley juga menyatakan bahwa seorang Kenyhah juga bisa mengenali lebih banyak kerabat jauh, jika mereka bertempat tinggal di satu lokasi atau saling berinteraksi.
Coney mengatakan bahwa suku Kenyah mirip dengan suku Iban dalam hal penggunaan istilah-istilah yang sama untuk mengenali kerabat mereka secara bilateral, dan hubungan yang demikian setara sifatnya, baik bagi pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Sebagai contoh, istilah Pui dalah masyarakat Kenyah digunakan untuk menyebut orangtua, baik dari pihak ayah maupun ibu.
Freeman menulis tentang kekerabatan suku Iban dan menyoroti kaitan-kaitan antara rumah panjang dengan sistem kekerabatan yang didasarkan pada bilek (apartemen/ruang besar/bilik). Freeman mendapati bahwa dikalangan orang-orang Iban, keberlangsungan bilek sebaga bagian dari rumah panjang dari waktu ke waktu menjadi bukti bahwa satu keluarga batih tumbuh dan berkembang mengungguli keluarga lainnya bila mereka tinggal dalam satu gugus yang utuh.
Menurut Freeman, meskipun banyak keluarga bilek di rumah panjang saling  berhubungan, tetapi hubungan yang sempurna di antara semua keluarga dalam sebuah rumah panjang sangat jarang ditemui. Freedom mengklaim bahwa “sebuah komunitas rumah panjang  merupakan sebuah konfederasi lokal yang sangat kokoh yang terbentuk berdasarkan hubungan kekerabatan yang berasal dari satu keturunan, yang terdiri dari serangkaian persekutuan yang terbentuk dari beberapa keluarga batih.”
Laporan Conley yang memfokuskan klasifikasinya pada keluarga amin sebagai kekeraatan dasar di kalangan suku Kenyah, bahwa organisasi keluarga suku Kenyah dan suku Iban mengikuti pola yang serupa. Keluarga amin terdiri dari “ornag tua dan anak-anak, termasuk suami atau istri dari anak perempuan atau anak laki-laki mereka, dan anak-anak dari anak-anak mereka itu (cucu). Beberapa keluarga amin bergabung bersama untuk membangun sebuah rumah panjang. Beberapa laki-laki dari satu keluarga mungkin bergotong royong untuk membangun rumah-rumah keluarga lain. Conley berpendapat bahwa beragam kegiatan keluarga dilakukan di dalam satu kelompok. Menurutnnya lagi, keluarga batih adalah satu-satunya kelompok keluarga yang kokoh di kalangan Kenyah.
Pola-pola tempat tinggal suku Dayak telah berubah hingga ke titik yang juga telah mengubah pola-pola kekerabatan tertentu dikalangan masyarakat Dayak. Misalnya, sebagian orang tidak lagi tinggal dekat dengan keluarga mereka sebagaimana yang terjadi pada masa sebelumnya di rumah-rumah panjang.
Masyarakat Kenyah sangat terkenal dengan sistem penamaan (pemberi nama). Lebar menjelaskan bahwa di kalangan suku Kenyah, nama seseorang berubah-ubah sejalan dengan perubahan statusnya. Misalnya, berkaitan dengan kelahiran atau kematian seorang anak atau anak-anak berikutnya. Menurut Whittier, seorang anak suku Kenyah membawa namanya sendiri dan nama ayahnya, mengikuti garis keturunan sang ayah (patrilineal), tetapi dia (perempuan atau laki-laki) juga bisa menggunakan hubungan-hubungan dari garis perempuan atau ibunya untuk menguatkan garis keturunannya. Akan tetapi jika seseorang menikah dan mem[unyai anak, maka namanya akan jarang dipakai lagi.
Whittier melaporkan bahwa jika orang itu mempunyai seorang cucu, maka awalan ‘Pe’ dan nama pribadinya akan digunakan, dimana ‘Pe’ ini menunjukkan status terhormat sebagai kakek/nenek. Menurut Geddes, suku Dayak Darat juga memiliki sistem penamaan yang berbeda. Para orang tua Dayak mengambil nama mereka dari nama anak-anak mereka, sedangkan orang Eropa mengambil nama orang tua merka sebagai nama belakang mereka. Geddes mencotohkan : seorang anak laki-laki yang diberi nama Bawur (nama pribadinya) akan tetapi dipanggil dengan sejumlah nama yang berbeda-beda selama masahidupnya: suweh (bayi), baduput (kanak-kanak), bujang (remaja), Amang Mali (bapaknya si Mali), lalu Babuk Ichau (kakeknya si Ichau). Bagi orang-orang Dayak, sistem penamaan seperti itu telah menjadi simbol kekhasan mereka, kendati sistem-sistem penanaman diberbagai kelompok Dayak sama sekali tidak seragam.
Aturan-aturan perkawinan Dayak juga berbeda-beda. Menurut Whittier, dikalangan orang-orang Lepo Tau (subsuku Kenyah) perkawinan dlam satu golongan (class endogamy) lebih disukai, khususnya untuk perkawinan pertama. Menurutnya, diantara sesama bangsawan perkawinan saudara sepupu diperbolehkan, meskipun tidak dianjurkan dan dapat dikenai denda. Perkawinan semaccam ini tidak diperbolehkan untuk kalangan masyrakat/rakyat biasa, sedangkan perkawinan dengan sepupu-sepupu selain saudara sepupu utama diijinkan bagi semua kelas. Whittier juga mencatat bahwa bila anak-anak pernah tinggal di lamin yang sama, dengan mengabaikan ada atau tidaknya pertalian darah, mereka dianggap saudara kandung dan mereka tidak boleh kawin. Dalam komunitas iban, Freeman menulis, perkawinan di antara kategori-kategori kerabat berikut ini dilarang dengan alasan tabunya perkawinan incest.
  1. Semua yang berasal dari satu keturunan keluarga bilek yang sama
  2. Saudara kandung (baik yang penuh atau yang tiri), meskipun mereka berasal dari keluarga bilek yang berbeda
  3. Semua anak sedarah dan yang berhubungan sangat erat (yaitu sodara kandung hingga sepupu jauh (jawa mindo) yang berasal dari satu generasi yang bertingkat atau sebaya.
Perkawinan yang paling disukai adalah “perkawinan dalam satu keturunan, tetapi perkawinan dalam individu-individu yang tidak bertalian kerabat sama sekali, asalkan yang bersangkutan tidak memiliki “noda keturunan orang jahat” dan bukan keturunan budak dapat diterima. Perkawinan dikalangan suku iban adalah perkawinan endogami. Terdapat juga bukti-bukti yang kuat mengenai perkawinan dalam satu ruh panjang. Schiller juga mendapati bahwa perkawinan yang disukai oleh dayak Naju adalah perkawinan dengan seorang kerabat dekat. Khususnya antara sepupu-sepupu silang atau sepupu-sepupu sejajar mulai dari tingkat pertama hingga ketiga.
Baik Lebar maupun Freeman menulis bahwa mas kawin tidaklah penting dalam masyarakat iban. Dikalangan suku dayak Manyan, upacara perkawinan disertai dengan “pembayaran harga pengantin, yang terdiri atas uang, berapa gong, dan barang-barang pustaka lainnya”.
Sedangkan mengenai tempat tinggal setelah perkawinan, Conley menulis bahwa dikalangan masyarakat Kenyah, tempat tinggal bersifat abilokal, bisa dikeluarga si istri, bisa juga dikeluarga suami.
Ada sejumlah ragam dan perbedaan yang penting diantara kelompok-kelompok dayak dalam hal cara perhitungan kerabat dan sistem sistem penamaan. Singkatnya, dalam hal-hal yang menyangkut praktik-praktik kekerabatan, sistem penamaan, dan penentuan tempat tinggal setelah menikah, orang-orang Dayak bukanlah kelompok yang homogen. Lagipula sistem kekerabatan bilateral yang biasa ditemuai dikalangan kelompok-kelompok dayak pada kenyataannya juga ditemui dibanyak kelompok etnis lainnya di Indonesia, dan bahkan di asia tenggara. Sistem kekerabatan suku jawapun bersifat bilateral.

Meski tampaknya asumsi bahwa sistem kekerabatan dayak bersifat bilateral telah diterima secara umum, tetapi orang kurang memperhatikan nuansa-nuansa, misalnya, bahwa kendati mungkin sistemnya bersifat bilateral tetapi dalam kehidupan sehari-hari penekanannya kadang-kadang bisa mengacu pada garis ayah saja (pateral), dan kadang-kadang beralih ke garis ibu (maternal).

Teori Fungsionalisme Malinowski

Teori – teori fungsional dalam ilmu antropologi mulai dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski tertarik akan penggunaan praktis dari ilmu antropologi dalam meneliti dan mengatur proses perubahan kebudayaan dalam meneliti dan mengatur proses perubahan kebudayaan tradisional bangsa-bangsa Afrika, Asia, dan Oseania, akibat pengaruh kebudayaan Eropa, dan mencurahkan perhatian penuh terhadap antropologi terapan dalam administrasi kolonial yang disebutnya practical anthropology, serta masalah-masalah yang ada sangkut pautnya dengan perubahan kebudayaan atau culture change. Ia mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Hal unik dari etnografi Maliowski adalah ia menggambarkan hubungan berkait antara sistem kula dengan lingkungan alam sekitar pulaupulau serta berbagai macam unsure kebudayaan dan masyarakat penduduknya. Ia mensyaratkan bagi penulisan etnografi yang bermutu dan professional, yaitu dengan penguasaan bahasa lokal terhadap para peneliti lapangan. Ia juga mensyaratkan suatu usaha untuk mengumpulkan dan mencatat sebanyak mungkin kasus konkret mengenai sebanyak mungkin unsur kehidupan ekonomi, sosial, keagamaan, dan kesenian. Malinowski membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi :
1.      Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi pertama mengenai efeknya terhadap adat, tingkah laku mausia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
2.      Pada tingkat abstraksi kedua mengenai efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain utnuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
3.      Tingkat abstraksi yang ketiga mengenai efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlagsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Malinowski pernah mempersoalkan azas dari aktifitas pengendalian sosial atau hukum. Berikut adalah analisisnya :
1.      Dalam masyarakat modern, tata tertib kemasyarakatan dijaga oleh sistem pengendalian sosial yang bersifat memaksa, yaitu hukum.
2.      Dalam masyarakat primitif, alat-alat kekuasaan serupa itu kadang-kadang tidak ada
3.      Apakah dalam masyarakat primitif tidak ada hukum? Bagaimana suatu masyarakat serupa itu dapat menjaga tata tertib?
Dalam masyaraka primitif ada kecondongan naluri antara individunya untuk secara spontan taat kepada adat istiadat. Namun pendirian ini ditentang oleh Malinowski, menurutnya berbagai macam sistem tukar menukar yang ada di masyarakat serupa itu merupakan daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat. Sistem menyumbang untuk menimbulkan kewajiban membalaas itu merupakan suatu dasar yang mengaktifkan kehidupan masyarakat yang disebutnya dengan prinsip timbal balik. Suatu pendirian penting dari Malinowski adalah mitologi atau himpunan dongeng-dongeng suci dalam masyarakat.
Teori Fungsional tentang Kebudayaan. Dalam buku Malinowski A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1994), ia menggembangkan tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kommplex. Inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
Malinowski tentang Perubahan Kebudayaan. Pada akhir hidupnya ia berhasil menulis sebuah buku yang berjudul The Dynamucs of Culture Change, An Inquiry into Race Relation in Africa (!945). Dalam buku itu mengajukan suatu metode untuk mencatat dan menganalisa sejarah dan proses-proses perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat yang hidup.

TUGAS SEJARAH X KERAJAAN ISLAM

1. Carilah 5 Kerajaan Islam yang ada di Indonesia 2. Jelaskan tentang awal berdirinya kerajaan, raja-rajanya, masa kejayaan, masa keruntuhan...