Jumat, 06 Desember 2013

Contoh Kajian Etnografi

KISAH PEMUDA BERDARAH DI TANAH TENGANAN

Laela Dwi Hapsari
3401412107
Jurusan Sosiologi dan Antropologi
Universitas Negeri Semarang

ABSTRAK
Masyarakat Desa Bali Aga Tenganan menganut sistem kepercayaan Dewa Indra yang merupakan dewa perang dan dewa kemakmuran. Adapun wujud cara masyarakat desa Tenganan Bali untuk menghormati Dewa Indra yaitu dengan melakukan tradisi Megaret Pandan atau Perang Pandan yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Megaret Pandan ini merupakan ritual keagamaan yang pelakunya hanya melibatkan kaum laki-laki khususnya pemuda desa Tenganan tersebut dan dalam pelaksanaannya tidak ada menang ataupun kalah. Megaret Pandan ini merupakan tradisi khusus yang mempunyai makna yang sangat dalam. Dahulu tradisi ini dilakukan setiap tahun adalah untuk upacara adat keagamaan dan sebagai rasa hormat kepada Dewa Indra yang telah menyelamatkan masyarakat Tenganan pada zaman dahulu saat dipimpin raja  yang sangat kejam dengan berperang mengalahkan raja tersebut. Namun sekarang, fungsi dilaksanakannya Megaret Pandan ini bukan hanya untuk kepentingan yang sakral seperti ritual keagamaan tetapi sudah beralih fungsi juga sebagai fungsi pariwisata.

Pendahuluan
            Dahulu desa Aga Tenganan, Bali dipimpin oleh seorang raja bernama Maya Dewana. Raja tersebut terkenal sangat kejam dan tidak adil dalam memimpin wilayah, kekuasaan dan warga desanya. Selain itu, Raja Maya Dewana juga melarang para warga di desa Tenganan, Bali untuk melakukan ritual-ritual adat keagamaan Bali. Lebih parah lagi, raja Maya Denawa juga menganggap dirinya sebagai Tuhan. Dari hal tersebut, dan menyebabkan dewa-dewa di Surga marah dan memerintahkan Dewa Indra untuk turun ke Bumi membantu warga desa Tenganan menghadapi Raja Maya Denawa. Dewa Indra pun turun ke bumi dan membantu warga desa Tenganan menghadapi Raja Maya Denawa dengan menjadi pemimpin peperangan. Peperangan itu terjadi sangat sengit dan banyak pertumpahan darah diantara kedua pasukan. Tetapi pada akhirnya, Dewa Indra yang merupakan Dewa Perang dan Dewa Kemakmuran yang memimpin peperangan sebagai pembela warga desa Tenganan dapat mengalahkan Raja Maya Denawa beserta pasukannya dan sebagai rasa terimakasih dan menghargai maupun menghormati jasa Dewa Indra kepada warga masyarakat desa Tenganan, setiap satu tahun sekali mengadakan Upacara atau Tradisi Khusus yang dinamakan Megaret Pandan atau Perang Pandan. Megaret Pandan merupakan tradisi yang hanya dilakukan oleh para kaum laki-laki saja khususnya para pemuda. Alasan hanya kaum lelakinya saja yang melakukan dan menjadi pelaku dalam Megaret Pandan ini adalah sebagai simbol kejantanan dan keberanian para laki-laki di desa Tenganan. Megaret Pandan dilakukan satu kali dalam setahun tepatnya pada pertengahan bulan Juni (sekitar tanggal 20an) atau pada awal bulan Juli karena pada bulan-bulan dan waktu-waktu tersebut merupakan munculnya bulan purnama. Pada dahulu kala, tradisi Megaret Pandan ini dilakukan hanya untuk keperluan yang sangat sakral, yaitu sebagai ritual upacara keagamaan, tetapi sering dengan berjalannya waktu, saat desa Aga Tenganan Bali mulai menjadi daerah pariwisata, tradisi ini berubah fungsinya tidak lagi sebagai ritual yang sakral melainkan sebagai ritual yang profan dengan menjadikan tradisi Megaret Pandan ini juga berfungsi sebagai pertunjukkan untuk pariwisata.

Pembahasan
Pada zaman dahulu, tradisi khusus ini, Megaret Pandan, dilaksanakan adalah sebagai tujuannya yaitu untuk ritual upacara keagamaan dan untuk menghormati jasa Dewa Indra yang telah menyelamatkan warga desa Tenganan dari belenggu kepemimpinan Rasa yang sangat kejam dan tidak adil bernama Maya Denawa. Selain tujuan tersebut diatas, warga desa Tenganan mengadakan tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai simbol kejantanan dan keperkasaan para lelaki desa Tenganan, karena memang tradisi Megaret Pandan ini adalah tradisi khusus yang hanya dilakukan oleh kaum lelakinya saja. Dahulu tradisi ini hanya dikhususkan dilakukan oleh warga desa tenganan karena sebagai upacara keagamaan. Para lelaki yang melakukan tradisi ini wajib menggunakan pakaian adat pemuda bali yang biasa disebut dengan “Kamben”. Tradisi Megaret Pandan ini dilaksanakan di tempat yang lapang yaitu di sebuah bale atau panggung. Waktu pelaksanaan biasanya pada waktu siang hari sekitar pukul 14.00 WITA atau jam 2 siang Waktu Indonesia Bagian Tengah. Alat-alat yang digunakan dalam tradisi Megaret Pandan ini antara lain daun pandan berjumlah 20 lembar yang masing-masing lembarnya mempunyai panjang 30cm. daun pandan yang berjumlah 20 itu kemudian diikatkan menjadi satu dengan sebuah tali. Selain daun pandan, alat lain yang digunakan adalah sebuah tameng atau perisai yang terbuat dari rotan yang digunakan sebagai pelindung para pemain Megaret Pandan. Sebelum dilaksanakan Megaret Pandan, para warga desa bersama-sama meminum tuak, yaitu air didalam bambu dan para pemain saling menuangkan air tuak tersebut ke pemain yang lain dengan menggunakan daun pisang yang digunakan sebagai gelas. Setelah selese meminumnya kemudian tuak tersebut dibuang di sisi panggung atau balai tempat yang akan dilangsungkannya tradisi Megaret Pandan. Setelah itu warga bersama-sama berjalan mengelilingi desa yang hal tersebut merupakan simbol sebagai ritual meminta perlindungan kepada dewa-dewa dan agar diberi kelancaran selama tradisi Megaret Pandan akan dilaksanakan. Setelah itu, para pemain Megaret Pandan menarikan sebuah tarian bernama Tari Abuang dan ditabuhkan juga gamelan Bali. Setelah semua ritual yang harus dilaksanakan sebelum tradisi Megaret Pandan dilaksanakan sudah dilaksanakan, tibalah tradisi Megaret Pandan ini dilakukan. Setiap ronde pelaksanaan Megaret Pandan dilakukan oleh satu pasangan pemain. Ada wasit yang memimpin jalannya Megaret Pandan ini. Para pemain Megaret Pandan tidak hanya diperbolehkan hanya untuk pemuda atau laki-laki dewasa saja, anak-anak pun boleh ikut berpartisipasi dengan syarat minimal sudah berumur 8 tahun dan lawan mainnya juga harus yang berkekuatan sepadan. Cara melakukan Megaret Pandan ini adalah para pemain masing-masing memegang ikatan daun pandan dan sebuah tameng rotan, mereka saling memukul-mukulkan daun pandan dan menggeretnya kebadan lawan. Syarat tradisi Megaret Pandan ini adalah tidak boleh memukul mengenai kepala dan alat vital pemain karena hal tersebut tentu akan sangat berbahaya. Daun pandan itu digunakan layaknya sebuah pedang. Megaret Pandan setiap ronde berlangsung selama 1 sampai 2 menit saja, atau apabila ada salah satu pemain yang menyatakan dirinya menyerah dengan cara mengangkat tangannya keatas, pelaksanaan Megaret Pandan akan diberhentikan atau selesai. Bisa juga apabila pemimpin pelaksanaan Megaret Pandan melihat adanya salah satu pemain yang dirasa sudah cukup lemah atau tidak mampu untuk melanjutkan Megaret Pandan maka pelaksanaan dihentikan. Dalam tradisi Megaret Pandan atau Perang Pandan ini tidak ada pemenang atau istilah kalah dan menang seperti perang-perang yang lain. Karena memang tradisi ini merupakan seperti tradisi persahabatan dan bukan sebagai sebuah kompetisi yang selalu ada pemain yang menang maupun kalah. Setelah tradisi Megaret Pandan ini selese, para pemain mengalami luka karena sabetan, pukulan dan geretan daun pandan yang berduri, namun para perempuan atau kaum perempuan di desa Tenganan sudah menyiapkan obat tradisional untuk mengobati para pemain yang terluka. Obat tradisional tersebut terdiri dari lengkuas, kunyit, dan cuka yang di haluskan menjadi satu. Obat tradisional ini biasa disebut warga desa Tenganan dengan istilah “Boreh Rempah”. Setelah dilakukan pengobatan dengan obat tradisional tersebut, luka akan cepat mengering dan sembuh selama 2 sampai 3 hari dengan efek rasa perih. Setelah tradisi Megaret Pandan selesai dilaksanakan, para warga desa Tenganan bersama-sama memakan jajanan tradisional maupun makanan tradisional khas Bali. Setelah itu, sehari setelah dilangsungkannya tradisi megaret Pandan, para warga desa tenganan khususnya para lelakinya mengadakan ritual atau acara pemotongan babi yang berat babi tersebut harus 100kg.
Namun sejak desa Aga Tenganan, Bali dijadikan sebagai tempat pariwisata, fungsi tradisi Megaret Pandan ini beralih fungsi yang tadinya merupakan tradisi yang sangat sakral menjadi profan. Dahulu yang menjadi pemain Megaret Pandan hanya dikhususkan untuk warga desa Tenganan saja yang boleh melakukan tradisi Megaret Pandan karena sebagai tanda kesetiaan warga desa Tenganan kepada Yang Maha Kuasa yang telah melindungi warga desa Tenganan dari waktu dulu hingga sekarang dan juga sebagai rasa hormat atau untuk menghormati jasa Dewa Indra yang dahulu kala telah memimpin perang membela warga Tenganan dengan cara melawan raja kejam Maya Denawa yang dahulu memimpin desa Tenganan, bentuk penghormatan kepada Dewa Indra dari warga desa Tenganan adalah dengan cara mengeluarkan darah pada saat tradisi Megaret Pandan. Menurut kepercayaan warga desa Tenganan yang meyakini bahwa kekuatan tertinggi ada pada Dewa Indra yaitu Dewa Kemakmuran, darah yang keluar dari tubuh para pemain Megaret Pandan yang jatuh ke tanah merupakan sebagai keseimbangan alam. Hal ini dapat diartikan bahwa warga desa Tenganan meyakini tentang adanya hal-hal gaib, seperti roh-roh, dewa dan kekuatan magic, dan darah yang menetes ke tanah itu merupakan persembahan kepada roh-roh dewa yang ada di alam supranatural. Hal ini sama halnya dengan sebuah teori dari Edward Tylor yang menyebutkan bahwa adanya kepercayaan animisme dan dinamisme yang mempercayai bahwa ada roh-roh disekitar mereka yang hidup tanpa raga maupun roh-roh yang terdapat pada benda-benda, juga dengan kepercayaan polytheisme yang mempercayai adanya dewa-dewa serta kepercayaan monotheisme yaitu percaya kepada satu kekuatan tertinggi yaitu Dewa Indra. Tradisi Megaret Pandan ini juga merupakan bagian dari upacara agama, yaitu dalam hal menyembah Dewa Indra dan tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai rangkaian tari persembahan khususnya untuk Dewa Indra. Oleh karena kesakralan tradisi Megaret Pandan ini, waktu pelaksanaan dan tata cara pelaksanaan Megaret Pandan tidak boleh diubah-ubah lagi, dan warga desa Tenganan tetap berusaha menjaga keseimbangan antara alam nyata dengan alam ghaib dengan menjalin hubungan yang serasi dan harmonis antara warga desa Tenganan dengan roh-roh ghaib disekitar mereka, yang salah satunya dengan mengadakan tradisi Megaret Pandan setiap satu tahun sekali. Hal ini menurut seorang ahli bernama Pitirim A. Sorokin yang berpandangan bahwa terdapat  siklus tiga sistem kebudayaan yaitu kebudayaan ideasional yang merupakan kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural, kemudian ada kebudayaan idealistis yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal., dan kebudayaan sensasi yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup, seperti halnya warga desa Tenganan yang juga mempercayai adanya kekuatan supranatural yaitu kekuatan dewa-dewa atau roh-roh disekitar mereka yang harus mereka jaga keseimbangannya.
Selain berfungsi sebagai wujud rasa hormat warga Tenganan kepada Dewa Indra, tradisi Megaret Pandan ini juga mempunyai fungsi yaitu sebagai salah satu sarana instrospeksi diri dari warga desa Tenganan khususnya para pemain Megaret Pandan yaitu para lelaki atau pemudanya bahwa musuh muncul tidak hanya berasal dari luar diri mereka tetapi musuh juga dapat berada pada diri mereka sendiri yaitu dengan menjadi pemain Megaret Pandan mereka dapat memerangi musush dalam diri mereka berupa rasa takut dari goresan duri daun pandan. Selain itu fungsi tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai simbol keperkasaan dan kejantanan para lelaki atau pemuda desa Tenganan, tentunya juga keberanian mereka saat dalam menjadi pemain Megaret Pandan, itulah sebabnya tradisi Megaret Pandan ini hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-lakinya saja, para kaum perempuan hanya dapat menonton dan membuatkan obat tradisional untuk mengobati luka para pemain Megaret Pandan.
            Sekarang, keberlangsungan tradisi Megaret Pandan yang dahulunya merupakan tradisi yang sakral, sekarang sejak Desa Aga Tenganan, Bali juga menjadi salah satu tempat para turis (baik turis lokal maupun turis mancanegara) berkunjung atau berpariwisata, tradisi Megaret Pandan berubah yang tadinya sakral kini menjadi profan. Hal tersebut terjadi karena setiap tahun setiap kali diadakan tradisi Megaret Pandan, para turis boleh menontonnya bahkan tradisi Megaret Pandan ini mempunyai daya magnet tersendiri bagi para turis. Selain itu, orang dari luar desa Tenganan seperti turis lokal maupun turis mancanegara pun boleh mengikuti tradisi Megaret Pandan ini, dengan syarat mereka adalah laki-laki, berani dan saat menjadi pemain Megaret Pandan harus memakai pakaian adat pemuda bali yang disebut Kamben. Walaupun demikian, tidak ada perubahan dalam tata cara atau sistematika dari awal hingga akhir tradisi Megaret Pandan, karena tata cara yang disyaratkan dan sudah dilakukan dari dulu merupakan ketentuan dari para nenek moyang atau leluhur terdahulu dan para warga desa Tenganan tidak berani mengubah-ubah peraturan tersebut, baik dalam tata cara, pakaian, maupun waktu pelaksanaan. Hal tersebut dilakukan para warga desa Tenganan karena mereka sangat menghormati para leluhur mereka. Berubahnya kesakralan tradisi Megaret Pandan menjadi profan mempunyai dampak positif yaitu dapat menambah pendapatan ekonomi bagi desa desa Tenganan dengan penjualan berbagai kerajinan asli desa Tenganan meningkat karena banyak turis lokal maupun turis asing yang berdatangan tertarik ingin melihat dan mengetahui tradisi khusus desa Aga Tenganan Bali khususnya Megaret Pandan yang diadakan satu tahun sekali. Hal ini, jika dikaitkan dengan teori fungsionalisme Malinowsky yang mengatakan bahwa, segala aktivitas kebudayaan bermaksud untuk memuaskan kebutuhan, sama halnya dengan berubahnya kesakralan tradisi Megaret Pandan ke profan adalah untuk sebagai memenuhi kebutuhan masyarakat atau warga desa Tenganan sebagai tempat pariwisata agar banyak dikunjungi oleh pariwisatawan sehingga pemasukan di desa Tenganan untuk pembangunan menjadi bertambah walaupun warga desa Tenganan tetap menjaga tradisi, melestarikannya dan tidak menghilangkannya.

Penutup
            Megaret Pandan merupakan tradisi khusus desa Tenganan yang diadakan setiap satu tahun sekali pada pertengahan bulan Juni maupun pada awal bulan Juli. Tradisi ini dilakukan para laki-laki ataupun pemuda desa Tenganan sebagai wujud menghormati Dewa Indra dan juga sebagai simbol kejantanan dan keperkasaan para lelaku maupun pemuda desa Tenganan. Tradisi ini dulunya bersikap sakral karena merupakan bagian dari upacara keagamaan dan hanya boleh dilakukan warga asli desa Tenganan dan tanpa melibatkan orang diluar desa, hingga sejak pariwisata di desa Aga Tenganan  dibuka, tradisi Megaret Pandan ini menjadi bersifat profan, yai tradisi ini juga berfungsi sebagai pariwisata dan para turis lokal maupun asing boleh ikut serta dalam menjadi pemain tanpa menghilangkan tata cara, pakaian dan waktu untuk pelaksanaan tradisi Megaret Pandan ini.





DAFTAR PUSTAKA


KISAH PEMUDA BERDARAH DI TANAH TENGANAN

Laela Dwi Hapsari
3401412107
Jurusan Sosiologi dan Antropologi
Universitas Negeri Semarang

ABSTRAK

Masyarakat Desa Bali Aga Tenganan menganut sistem kepercayaan Dewa Indra yang merupakan dewa perang dan dewa kemakmuran. Adapun wujud cara masyarakat desa Tenganan Bali untuk menghormati Dewa Indra yaitu dengan melakukan tradisi Megaret Pandan atau Perang Pandan yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Megaret Pandan ini merupakan ritual keagamaan yang pelakunya hanya melibatkan kaum laki-laki khususnya pemuda desa Tenganan tersebut dan dalam pelaksanaannya tidak ada menang ataupun kalah. Megaret Pandan ini merupakan tradisi khusus yang mempunyai makna yang sangat dalam. Dahulu tradisi ini dilakukan setiap tahun adalah untuk upacara adat keagamaan dan sebagai rasa hormat kepada Dewa Indra yang telah menyelamatkan masyarakat Tenganan pada zaman dahulu saat dipimpin raja  yang sangat kejam dengan berperang mengalahkan raja tersebut. Namun sekarang, fungsi dilaksanakannya Megaret Pandan ini bukan hanya untuk kepentingan yang sakral seperti ritual keagamaan tetapi sudah beralih fungsi juga sebagai fungsi pariwisata.

Pendahuluan
            Dahulu desa Aga Tenganan, Bali dipimpin oleh seorang raja bernama Maya Dewana. Raja tersebut terkenal sangat kejam dan tidak adil dalam memimpin wilayah, kekuasaan dan warga desanya. Selain itu, Raja Maya Dewana juga melarang para warga di desa Tenganan, Bali untuk melakukan ritual-ritual adat keagamaan Bali. Lebih parah lagi, raja Maya Denawa juga menganggap dirinya sebagai Tuhan. Dari hal tersebut, dan menyebabkan dewa-dewa di Surga marah dan memerintahkan Dewa Indra untuk turun ke Bumi membantu warga desa Tenganan menghadapi Raja Maya Denawa. Dewa Indra pun turun ke bumi dan membantu warga desa Tenganan menghadapi Raja Maya Denawa dengan menjadi pemimpin peperangan. Peperangan itu terjadi sangat sengit dan banyak pertumpahan darah diantara kedua pasukan. Tetapi pada akhirnya, Dewa Indra yang merupakan Dewa Perang dan Dewa Kemakmuran yang memimpin peperangan sebagai pembela warga desa Tenganan dapat mengalahkan Raja Maya Denawa beserta pasukannya dan sebagai rasa terimakasih dan menghargai maupun menghormati jasa Dewa Indra kepada warga masyarakat desa Tenganan, setiap satu tahun sekali mengadakan Upacara atau Tradisi Khusus yang dinamakan Megaret Pandan atau Perang Pandan. Megaret Pandan merupakan tradisi yang hanya dilakukan oleh para kaum laki-laki saja khususnya para pemuda. Alasan hanya kaum lelakinya saja yang melakukan dan menjadi pelaku dalam Megaret Pandan ini adalah sebagai simbol kejantanan dan keberanian para laki-laki di desa Tenganan. Megaret Pandan dilakukan satu kali dalam setahun tepatnya pada pertengahan bulan Juni (sekitar tanggal 20an) atau pada awal bulan Juli karena pada bulan-bulan dan waktu-waktu tersebut merupakan munculnya bulan purnama. Pada dahulu kala, tradisi Megaret Pandan ini dilakukan hanya untuk keperluan yang sangat sakral, yaitu sebagai ritual upacara keagamaan, tetapi sering dengan berjalannya waktu, saat desa Aga Tenganan Bali mulai menjadi daerah pariwisata, tradisi ini berubah fungsinya tidak lagi sebagai ritual yang sakral melainkan sebagai ritual yang profan dengan menjadikan tradisi Megaret Pandan ini juga berfungsi sebagai pertunjukkan untuk pariwisata.

Pembahasan
Pada zaman dahulu, tradisi khusus ini, Megaret Pandan, dilaksanakan adalah sebagai tujuannya yaitu untuk ritual upacara keagamaan dan untuk menghormati jasa Dewa Indra yang telah menyelamatkan warga desa Tenganan dari belenggu kepemimpinan Rasa yang sangat kejam dan tidak adil bernama Maya Denawa. Selain tujuan tersebut diatas, warga desa Tenganan mengadakan tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai simbol kejantanan dan keperkasaan para lelaki desa Tenganan, karena memang tradisi Megaret Pandan ini adalah tradisi khusus yang hanya dilakukan oleh kaum lelakinya saja. Dahulu tradisi ini hanya dikhususkan dilakukan oleh warga desa tenganan karena sebagai upacara keagamaan. Para lelaki yang melakukan tradisi ini wajib menggunakan pakaian adat pemuda bali yang biasa disebut dengan “Kamben”. Tradisi Megaret Pandan ini dilaksanakan di tempat yang lapang yaitu di sebuah bale atau panggung. Waktu pelaksanaan biasanya pada waktu siang hari sekitar pukul 14.00 WITA atau jam 2 siang Waktu Indonesia Bagian Tengah. Alat-alat yang digunakan dalam tradisi Megaret Pandan ini antara lain daun pandan berjumlah 20 lembar yang masing-masing lembarnya mempunyai panjang 30cm. daun pandan yang berjumlah 20 itu kemudian diikatkan menjadi satu dengan sebuah tali. Selain daun pandan, alat lain yang digunakan adalah sebuah tameng atau perisai yang terbuat dari rotan yang digunakan sebagai pelindung para pemain Megaret Pandan. Sebelum dilaksanakan Megaret Pandan, para warga desa bersama-sama meminum tuak, yaitu air didalam bambu dan para pemain saling menuangkan air tuak tersebut ke pemain yang lain dengan menggunakan daun pisang yang digunakan sebagai gelas. Setelah selese meminumnya kemudian tuak tersebut dibuang di sisi panggung atau balai tempat yang akan dilangsungkannya tradisi Megaret Pandan. Setelah itu warga bersama-sama berjalan mengelilingi desa yang hal tersebut merupakan simbol sebagai ritual meminta perlindungan kepada dewa-dewa dan agar diberi kelancaran selama tradisi Megaret Pandan akan dilaksanakan. Setelah itu, para pemain Megaret Pandan menarikan sebuah tarian bernama Tari Abuang dan ditabuhkan juga gamelan Bali. Setelah semua ritual yang harus dilaksanakan sebelum tradisi Megaret Pandan dilaksanakan sudah dilaksanakan, tibalah tradisi Megaret Pandan ini dilakukan. Setiap ronde pelaksanaan Megaret Pandan dilakukan oleh satu pasangan pemain. Ada wasit yang memimpin jalannya Megaret Pandan ini. Para pemain Megaret Pandan tidak hanya diperbolehkan hanya untuk pemuda atau laki-laki dewasa saja, anak-anak pun boleh ikut berpartisipasi dengan syarat minimal sudah berumur 8 tahun dan lawan mainnya juga harus yang berkekuatan sepadan. Cara melakukan Megaret Pandan ini adalah para pemain masing-masing memegang ikatan daun pandan dan sebuah tameng rotan, mereka saling memukul-mukulkan daun pandan dan menggeretnya kebadan lawan. Syarat tradisi Megaret Pandan ini adalah tidak boleh memukul mengenai kepala dan alat vital pemain karena hal tersebut tentu akan sangat berbahaya. Daun pandan itu digunakan layaknya sebuah pedang. Megaret Pandan setiap ronde berlangsung selama 1 sampai 2 menit saja, atau apabila ada salah satu pemain yang menyatakan dirinya menyerah dengan cara mengangkat tangannya keatas, pelaksanaan Megaret Pandan akan diberhentikan atau selesai. Bisa juga apabila pemimpin pelaksanaan Megaret Pandan melihat adanya salah satu pemain yang dirasa sudah cukup lemah atau tidak mampu untuk melanjutkan Megaret Pandan maka pelaksanaan dihentikan. Dalam tradisi Megaret Pandan atau Perang Pandan ini tidak ada pemenang atau istilah kalah dan menang seperti perang-perang yang lain. Karena memang tradisi ini merupakan seperti tradisi persahabatan dan bukan sebagai sebuah kompetisi yang selalu ada pemain yang menang maupun kalah. Setelah tradisi Megaret Pandan ini selese, para pemain mengalami luka karena sabetan, pukulan dan geretan daun pandan yang berduri, namun para perempuan atau kaum perempuan di desa Tenganan sudah menyiapkan obat tradisional untuk mengobati para pemain yang terluka. Obat tradisional tersebut terdiri dari lengkuas, kunyit, dan cuka yang di haluskan menjadi satu. Obat tradisional ini biasa disebut warga desa Tenganan dengan istilah “Boreh Rempah”. Setelah dilakukan pengobatan dengan obat tradisional tersebut, luka akan cepat mengering dan sembuh selama 2 sampai 3 hari dengan efek rasa perih. Setelah tradisi Megaret Pandan selesai dilaksanakan, para warga desa Tenganan bersama-sama memakan jajanan tradisional maupun makanan tradisional khas Bali. Setelah itu, sehari setelah dilangsungkannya tradisi megaret Pandan, para warga desa tenganan khususnya para lelakinya mengadakan ritual atau acara pemotongan babi yang berat babi tersebut harus 100kg.
Namun sejak desa Aga Tenganan, Bali dijadikan sebagai tempat pariwisata, fungsi tradisi Megaret Pandan ini beralih fungsi yang tadinya merupakan tradisi yang sangat sakral menjadi profan. Dahulu yang menjadi pemain Megaret Pandan hanya dikhususkan untuk warga desa Tenganan saja yang boleh melakukan tradisi Megaret Pandan karena sebagai tanda kesetiaan warga desa Tenganan kepada Yang Maha Kuasa yang telah melindungi warga desa Tenganan dari waktu dulu hingga sekarang dan juga sebagai rasa hormat atau untuk menghormati jasa Dewa Indra yang dahulu kala telah memimpin perang membela warga Tenganan dengan cara melawan raja kejam Maya Denawa yang dahulu memimpin desa Tenganan, bentuk penghormatan kepada Dewa Indra dari warga desa Tenganan adalah dengan cara mengeluarkan darah pada saat tradisi Megaret Pandan. Menurut kepercayaan warga desa Tenganan yang meyakini bahwa kekuatan tertinggi ada pada Dewa Indra yaitu Dewa Kemakmuran, darah yang keluar dari tubuh para pemain Megaret Pandan yang jatuh ke tanah merupakan sebagai keseimbangan alam. Hal ini dapat diartikan bahwa warga desa Tenganan meyakini tentang adanya hal-hal gaib, seperti roh-roh, dewa dan kekuatan magic, dan darah yang menetes ke tanah itu merupakan persembahan kepada roh-roh dewa yang ada di alam supranatural. Hal ini sama halnya dengan sebuah teori dari Edward Tylor yang menyebutkan bahwa adanya kepercayaan animisme dan dinamisme yang mempercayai bahwa ada roh-roh disekitar mereka yang hidup tanpa raga maupun roh-roh yang terdapat pada benda-benda, juga dengan kepercayaan polytheisme yang mempercayai adanya dewa-dewa serta kepercayaan monotheisme yaitu percaya kepada satu kekuatan tertinggi yaitu Dewa Indra. Tradisi Megaret Pandan ini juga merupakan bagian dari upacara agama, yaitu dalam hal menyembah Dewa Indra dan tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai rangkaian tari persembahan khususnya untuk Dewa Indra. Oleh karena kesakralan tradisi Megaret Pandan ini, waktu pelaksanaan dan tata cara pelaksanaan Megaret Pandan tidak boleh diubah-ubah lagi, dan warga desa Tenganan tetap berusaha menjaga keseimbangan antara alam nyata dengan alam ghaib dengan menjalin hubungan yang serasi dan harmonis antara warga desa Tenganan dengan roh-roh ghaib disekitar mereka, yang salah satunya dengan mengadakan tradisi Megaret Pandan setiap satu tahun sekali. Hal ini menurut seorang ahli bernama Pitirim A. Sorokin yang berpandangan bahwa terdapat  siklus tiga sistem kebudayaan yaitu kebudayaan ideasional yang merupakan kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural, kemudian ada kebudayaan idealistis yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal., dan kebudayaan sensasi yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup, seperti halnya warga desa Tenganan yang juga mempercayai adanya kekuatan supranatural yaitu kekuatan dewa-dewa atau roh-roh disekitar mereka yang harus mereka jaga keseimbangannya.
Selain berfungsi sebagai wujud rasa hormat warga Tenganan kepada Dewa Indra, tradisi Megaret Pandan ini juga mempunyai fungsi yaitu sebagai salah satu sarana instrospeksi diri dari warga desa Tenganan khususnya para pemain Megaret Pandan yaitu para lelaki atau pemudanya bahwa musuh muncul tidak hanya berasal dari luar diri mereka tetapi musuh juga dapat berada pada diri mereka sendiri yaitu dengan menjadi pemain Megaret Pandan mereka dapat memerangi musush dalam diri mereka berupa rasa takut dari goresan duri daun pandan. Selain itu fungsi tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai simbol keperkasaan dan kejantanan para lelaki atau pemuda desa Tenganan, tentunya juga keberanian mereka saat dalam menjadi pemain Megaret Pandan, itulah sebabnya tradisi Megaret Pandan ini hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-lakinya saja, para kaum perempuan hanya dapat menonton dan membuatkan obat tradisional untuk mengobati luka para pemain Megaret Pandan.
            Sekarang, keberlangsungan tradisi Megaret Pandan yang dahulunya merupakan tradisi yang sakral, sekarang sejak Desa Aga Tenganan, Bali juga menjadi salah satu tempat para turis (baik turis lokal maupun turis mancanegara) berkunjung atau berpariwisata, tradisi Megaret Pandan berubah yang tadinya sakral kini menjadi profan. Hal tersebut terjadi karena setiap tahun setiap kali diadakan tradisi Megaret Pandan, para turis boleh menontonnya bahkan tradisi Megaret Pandan ini mempunyai daya magnet tersendiri bagi para turis. Selain itu, orang dari luar desa Tenganan seperti turis lokal maupun turis mancanegara pun boleh mengikuti tradisi Megaret Pandan ini, dengan syarat mereka adalah laki-laki, berani dan saat menjadi pemain Megaret Pandan harus memakai pakaian adat pemuda bali yang disebut Kamben. Walaupun demikian, tidak ada perubahan dalam tata cara atau sistematika dari awal hingga akhir tradisi Megaret Pandan, karena tata cara yang disyaratkan dan sudah dilakukan dari dulu merupakan ketentuan dari para nenek moyang atau leluhur terdahulu dan para warga desa Tenganan tidak berani mengubah-ubah peraturan tersebut, baik dalam tata cara, pakaian, maupun waktu pelaksanaan. Hal tersebut dilakukan para warga desa Tenganan karena mereka sangat menghormati para leluhur mereka. Berubahnya kesakralan tradisi Megaret Pandan menjadi profan mempunyai dampak positif yaitu dapat menambah pendapatan ekonomi bagi desa desa Tenganan dengan penjualan berbagai kerajinan asli desa Tenganan meningkat karena banyak turis lokal maupun turis asing yang berdatangan tertarik ingin melihat dan mengetahui tradisi khusus desa Aga Tenganan Bali khususnya Megaret Pandan yang diadakan satu tahun sekali. Hal ini, jika dikaitkan dengan teori fungsionalisme Malinowsky yang mengatakan bahwa, segala aktivitas kebudayaan bermaksud untuk memuaskan kebutuhan, sama halnya dengan berubahnya kesakralan tradisi Megaret Pandan ke profan adalah untuk sebagai memenuhi kebutuhan masyarakat atau warga desa Tenganan sebagai tempat pariwisata agar banyak dikunjungi oleh pariwisatawan sehingga pemasukan di desa Tenganan untuk pembangunan menjadi bertambah walaupun warga desa Tenganan tetap menjaga tradisi, melestarikannya dan tidak menghilangkannya.
Penutup
            Megaret Pandan merupakan tradisi khusus desa Tenganan yang diadakan setiap satu tahun sekali pada pertengahan bulan Juni maupun pada awal bulan Juli. Tradisi ini dilakukan para laki-laki ataupun pemuda desa Tenganan sebagai wujud menghormati Dewa Indra dan juga sebagai simbol kejantanan dan keperkasaan para lelaku maupun pemuda desa Tenganan. Tradisi ini dulunya bersikap sakral karena merupakan bagian dari upacara keagamaan dan hanya boleh dilakukan warga asli desa Tenganan dan tanpa melibatkan orang diluar desa, hingga sejak pariwisata di desa Aga Tenganan  dibuka, tradisi Megaret Pandan ini menjadi bersifat profan, yai tradisi ini juga berfungsi sebagai pariwisata dan para turis lokal maupun asing boleh ikut serta dalam menjadi pemain tanpa menghilangkan tata cara, pakaian dan waktu untuk pelaksanaan tradisi Megaret Pandan ini.





DAFTAR PUSTAKA

SETETES DARAH DALAM MEGARET PANDAN
Kelompok 5

ABSTRAK
Desa bali aga Tenganan memiliki kepercayaan yang berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi. Namun bagi warga Tenganan Dewa Indra adalah dewa tertinggi, mengapa demikian?karena upacara di tenganan ini menganut agama hindu aliran indra dan sudah di ketahui bahwa dewa indra adalah dewa kemakmuran, dewa perang, Dewa yang merupakan simbol ibu pertiwi dan dewa dari segala dewa. Upacara yang digunakan oleh masyarakat desa bali aga tenganan untuk menghormati dewa tertinggi dan leluhurnya tersebut adalah perang pandan. Perang pandan hampir sama seperti perang lainnya yaitu  bagaimana caranya untuk mengenai musuhnya. Namun, dalam perang pandan tidak ada kalah dan menang karna memang perang ini bukanlah ditujukan sebagai sebuah kompetisi, melainkan ritual upacara keagamaan masyarakat bali aga tenganan. Sehingga perang ini mempunyai makna yang sangat mendalam.
Dalam meneliti tradisi khusus (tradisi perang pandan) di desa tenganan ini kami menggunakan metode penelitian kualitatif, sebuah metode yang fokus terhadap asumsi berdasarkan fakta yang mengkaji tentang fenomena dan situasi sosial. Adapun topik bahasan yang kami teliti adalah mengenai latar belakang, proses, fungsi dan eksistensi perang pandan khususnya bagi masyarakat desa tenganan itu sendiri. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dengan data primer antara lain yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sedang data sekunder adalah bersumber dari internet dan beberapa referensi buku yang ada.
Kesimpulan dari hasil laporan yang kami buat adalah bahwa perang pandan adalah sebuah ritual yang sarat fungsi dan makna. Kesimpulan dari hasil laporan yang kami buat yaitu bahwa dalam proses perang pandan tidak mengalami perubahan yang signifikan, artinya Perang Pandan yang di laksanakan pada saat ini masih menggunakan tata cara dan tradisi yang telah ditentukan oleh nenek moyang mereka, saat ini masih menggunakan pandan dan tameng yang terbuat dari rotan sebagai alatnya.
                        Dari aspek fungsi, Perang Pandan saat ini telah mengalami perubahan fungsi, yaitu ketika pada masa lalu fungsi Perang Pandan benar-benar hanya menjadi tradisi yang bersifat sakral, sedangkan pada saat ini Perang Pandan telah berkembang dan memiliki fungsi-fungsi profan tertentu, salah satunya kepentingan pariwisata.
                        Dari aspek eksistensi, hingga saat ini Perang Pandan masih menjadi tradisi, masyarakat desa Tenganan masih berusaha melestarikan, menjaga, dan memperkenalkan Perang Pandan kepada para pemuda dan anak-anak Desa Tenganan.

Kata kunci ;Megaret pandan, Tradisi, Desa Tenganan.
PENDAHULUAN     
Perang pandan merupakan sebuah tradisi yang hingga kini masih dijaga keberadaannya atau dilestarikan oleh masyarakat desa Aga Tenganan, Bali.Perang Pandan sudah menjadi tradisi yang wajib ada di setiap tahunnya.Menurut sejarah masyarakat desa Aga Tenganan Bali, dahulu desa Aga Tenganan, Bali dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Maya Denawa.Raja Maya Denawa dikenal sebagai raja yang kejam dan tidak adil.Ia menganggap dirinya sebagai Tuhan, Raja Maya Denawa juga melarang Masyarakat desa Aga Tenganan untuk melakukan ritual-ritual keagamaan di Bali. Hal ini mengakibatkan Dewa di surga murkadan memerintahkan dewa Indrasebagai panglima perang untuk memimpin pertempuran darah (perang)dengan raja Maya Denawa.
Perang atau pertempuran sengit itu berlangsung, dewa Indera diikuti oleh banyak -pasukannya memimpin perang melawan Raja Maya Denawa, terjadi peertumpahan darah dan setelah peliknya perang itu akhuirnya , dewa indera bisa mengalahkan Raja Maya Denawa, Dewa indera dan para pasukannya memenangkan perang tersebut dan menyelamatkan warga desa Tenganan dari genggaman Raja yang kejam.
Dari peristiwa itu, masyarakat desa Tenganan menjadi menghormatidewa Indera (dewa perang), mereka ingin mengenang peristiwa pengorbanan beliau ketika berperang untuk membela warga desa dengan mengadakan perang pandan. Perang pandang dilaksanakan  setiap satu tahun sekali pada akhir bulan juni atau awal bulan juli (pada bulan purnama). Tradisi perang pandan dilakukan atau dimainkan oleh dua orang laki-laki sebagai simbol keberanian mereka hingga meneteskan darah dari luka bekas geretan pandan.
Perang pandan merupakan bagian dari upacara besar yang disebut Usaba Sembah, semula perang pandan dilakukan tertutup, yaitu hanya untuk warga Tenganan.Namun, ketika pariwisata mulai masuk di desa Tenganan, yaitu pada tahun 1930-an, perang pandan yang semula sakral pun menjadi profan, orang luar tidak hanya boleh menonton, namun mereka pun boleh ikut bertarung.




Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan berikut:
  1. Bagaimana proses berlangsungnya perang pandan di desa Tenganan ?
  2. Apa fungsi perang pandan bagi masyarakat desa Tenganan?
  3. Bagaimana eksistensi  tradisi perang pandan di masyarakat Desa Tenganan pada saat ini?


Metode penelitian
            Dalam penelitian tradisi khusus (tradisi perang pandan) di desa Tenganan ini kami menggunaan metode penelitian kualitatif, sebuah metode yang fokus terhadap asumsi berdasarkan fakta yang mengkaji tentang fenomena dan situasi sosial.
            Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dengan data primer antara lain yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sedangkan data sekunder adalah bersumber dari internet dan beberapa referensi buku yang ada. Informan peneliti adalah orang  masyarakat Tenganan, antara lain kades, pemuda, anak-anak dan perempuan desa aga Tenganan, Bali.


PEMBAHASAN
ü  Proses Terjadinya Perang Pandan
Di Desa Adat Tenganan, Bali, terdapat suatu tradisi masyarakat yang unik yaitu tradisi “Perang Pandan” atau “Magaret Pandan” dan dalam bahasa Bali disebut dengan “Mekare-kare”. menurut Kepala Desa Tenganan, I Putu mengatakan:
”dinamakan perang pandan karena dalamperang tersebut digunakan daun pandan yang berduri agar mudah melukai lawan main”.

. Tradisi ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) dan merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.Sasih Kalima yang berlangsung adalah antara bulan Mei  sampai Juni. Terkadang waktu pelaksanaan juga ditentukan oleh karma desa, namun tetap mengacu pada kalender adat Bali.Perang pandan biasanya dilaksanakan pada siang hari, sekitar pukul 14.00. Sebelum perang pandan dimulai, masyarakat menabuh gamelan di bale pertemuan. Bale pertemuan, sebagai tanda sudah dimulainya perang pandan. Panggung untuk tempat bermainnya perang pandan benar-benar seperti ring tinju. Bedanya panggung perang pandan itu tanpa tali pengaman yang mengelilingi, tetapi pengamannya adalah para pemedek (orang yang ikut upacara) itu sendiri. Sebelum perang pandan dimulai, ada upacara minum tuak dulu. Tuak di bambu dituangkan kedau pisang yang berfungsi seperti seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain semua lalu dikumpulkan pada satu orang yang kemudian membuang tuak itu ke samping panggung hingga bau tuak tercium sangat kuat.
Perang Pandan dilaksanakan di tempat yang lapang karena tentunya akan diikuti oleh banyak warga dan juga akan disaksikan oleh masyarakat, baik warga local, maupun turis domestik dan turis asing.
Sebelum melaksanakan perang pandan, terdapat upacara atau ritual yang harus dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu para peserta perang pandan harus mengelilingi desa sebagai wujud permohonan perlindungan dan keselamatan agar pelaksanaan perang pandan dapat berlangsung dengan lancar.Selain itu, juga dilakukan tari abuang yang ditarikan oleh para peserta perang pandan.
Secara teknis, perang pandan dilaksanakan oleh dua orang pemuda yang bertindak sebagai lawan layaknya pertandingan karate yang juga terdapat wasit untuk memimpin jalannya perang.Perang pandan juga dilaksanakan dengan diiringi gamelan khas Bali.
Pelaku perang pandan harus laki-laki, karena memang belum pernah ada peserta perempuan dalam pelaksanaan perang pandan. Pelaku perang pandan juga tidak ditentukan batasan usia dan jumlahnya, karena syaratnya adalah berani terkena duri daun pandan. Biasanya anak-anak kecil juga bisa mengikuti tradisi tersebut apabila ada lawan yang seimbang. Anak-anak yang mengikuti tradisi perang pandan biasanya mulai dari usia delapan atau sepuluh tahun. Pelaku perang pandan juga tidaklah harus warga asli desa Tenganan.Warga di luar desa, bahkan turis asing juga bisa menjadi pelaku perang pandan.
Pelaksanaan perang pandan
Syarat khusus pelaksanaan perang pandan adalah harus mengenakan pakaian adat pemuda Bali “Kamben” dengan bertelanjang dada.Alat utama dalam tradisi ini adalah Tameng / perisai yang biasanya terbuat dari bambu atau rotan dan daun pandan.Daun pandan tersebut terdiri dari dua puluh lembar daun yang diikat dengan panjang sekitar 30 cm. Daun pandan digunakan layaknya pedang.
Pemain memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dahulu. Mereka berpelukan, saling memukul punggung lawan dengan daun pandan lalu menggeretnya, sehingga ritual ini disebut Megeret Pandan. Perang pandan memang kegiatan maskulin, macho pesertanya hanya laki-laki. Perempuan hanya menjadi penyaksi ketika perang berlangsung. Namun begitu perang selesai, para  perempuan sigap memberikan obat.
Bagian tubuh yang tidak boleh dikenai adalah bagian kepala dan alat vital.Pelaksanaan perang dianggap selesai ketika salah satu dari pemuda ada yang melambaikan tangan sebagai tanda menyerah atau setelah salah satu peserta sudah menyerah atau dirasa sudah cukup oleh pemimpin pertandingan.Dalam perang pandan tidak ada istilah menang ataupun kalah, karena merupakan salah satu dari pelaksanaan tradisi perang layaknya pertandingan persahabatan.Karena tajamnya duri-duri daun pandan, maka akan terjadi luka goresan pada tubuh pelaku perang pandan. Para pelaku perang yang terluka diobati secara tradisional dengan menggunakan “Boreh Rempah” yang terbuat dari kunyit, lengkuas dan cuka yang dibuat oleh “Dahe” (Perempuan pembuat Boreh Rempah) dan memang menimbulkan rasa perih pada bagian yang terluka. Namun, para pemuda pelaku perang mayoritas juga bisa membuat obat tersebut.


Menurut I Nyoman Patra Gunawan:
ada obat tradisional yang di buat oleh masyarakat Tenganan. Obat tersebut terbuat dari kunyit dan sedikit cuka, tidak sampai dua minggu luka itu dapat sembuh.Karena obatanya sangat mujarab”.

Selesai perang, punggung dan pundak peserta memang penuh bercak darah yang mengalir akibat geretan daun pandan. Masyarakat menganggap bahwa jika mereka sudah mengeluarkan darah mereka merasa sudah melakukan bakti kepada leluhur, mereka menghormati dewa Indera dan berbakti kepada tradisinya.Menurut mereka, darah yang menetes ke tanah berfungsi sebagai penyeimbang alam.Daun pandan digunakan dalam perang pandan karena daun pandan berduri tetapi tidak menimbulkan infeksi.
Selain mengingatkan kepada dewa Indera, tradisi ini juga untuk mengingatkan bahwa desa Tenganan merupakan suatu desa yang memiliki benteng, sehingga dianggap perlu dilengkapi dengan kekuatan atau pertahanan prajurit.nyembuhan dengan “Boreh Rempah’ adalah sekitar dua sampai tiga hari.
Setelah pelaksanaan perang dan pengobatan seketika di lapangan, para pelaku perang melakukan upacara penutupan dengan makan “jajan” bersama.
Kemudian pada hari setelah perang dilaksanakan upacara pemotongan babi dengan syarat beratnya adalah 100 kg.

ü  Fungsi Perang Pandan

  1. Fungsi sebagai  penghormatan kepada Dewa Indera
Perang pandan yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat Desa Aga Tenganan antara lain befungsi sebagai, kepercayaan warga Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi.Namun bagi warga Tenganan Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa.Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan.


Salah satu warga desa Tenganan Mengatakan:
“Semua masyarakat tetap menerima warisan-warisan dari leluhur. Tak ada masyarakat yang tidak menerima. Perang Pandan merupakan tanda setia pada yang Maha Kuasa dan untuk menghormati dewa perang yaitu dewa Indra dengan cara mengeluarkan darah pada saat perang berlangsung”.
Perang ini adalah bagian dari upacara agama, karena fungsi perang ini juga sebagai persembahan kepada dewa indra. Perang pandan di katagorikan sebagai Tari wali/ tari sakral yang hanya bisa di pentaskan dan diadakan pada saat yang sudah di tentukan, jadi tidak boleh digeser dan ditambah. Kemudian perang pandan merupakan salah satu rangkaiaan tari persembahan, khususnya kepada dewa indra juga terhadap ida sang widhiwasa.
secara umum mengapa dewa indra yang dijadikan sebagai dewa tertinggi, karena upacara di tenganan ini menganut agama hindu aliran indra dan sudah di ketahui bahwa dewa indra sebagai dewa kemakmuran juga di kenal sebagai dewa perang. Perang pandan juga  bersifat seperti perang yang lainnya yaitu  bagaimana caranya untuk mengenai musuhnya, dalam arti tidak ada kalah menang di jauh kan dari rasa dendam  dan yang terpenting  intinya perang pandan ini secara jelas untuk melengkapi upacara.
Fungsi pandan, jika satu durinya patah tidak menyebabkan luka kalau durinya sampai tertanam dan jika tidak di obati pun tidak akan infeksi. Untuk mempercepat proses pengeringan diobati dengan campuran lengkuas,air cuka sedikit dan kunyit sehingga mempercepat penyembuhan luka tersebut. Saat terkena duri rasa sakit memang belum terasa akan tetapi saat diberi obat akan terasa sedikit perih namun rasa perih tersebut tidak berlangsung lama.
Sebenarnya pemaknaannya tidak hanya sekedar meneteskan darah saja namun lebih dari itu,seperti yang telah disebutkan di atas bahwa makna ritual perang ini adalah pertama wujud bakti pada dewa indra, yang kedua agar para pemuda di desa tenganan belajar introspeksi diri, dimana musuh kita itu bukan hanya berasal dari luar diri, namun terkadang musuh kita itu muncul dari dalam diri sendiri, bagaimana para pemuda atau peserta perang pandan itu menunjukkan seninya mengeluarkan emosi. Makna selanjutnya adalah sebagai persembahan keseimbangan kepada bumi.


2.    Sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara dunia natural dengan supernatural.
Pemain perang pandan biasanya terluka hingga meneteskan darah mereka ke tanah. Mereka menganggaps bahwa darah yang menetes tersebut sebagai penyeimbang alam, artinya mereka (masyarakat desa aga Tenganan) masih mempercayai hal-hal gaib seperti roh halu, dewa-dewa dan kekuatan magic. Yang meneteskan tersebut dipercayai sebagai simbol persembahan untuk roh halus dan dewa yang ada di alam supranatural.
Menurut mereka hubungan keserasian antara alam nyata dan alam gaib itu harus dijaga, dan masyarakat Aga Tenganan berusaha untuk menciptakan hubungan atau suasana harmonis antara manusia (masyarakat  desa Tenganan) dengan roh halus yang ada disana.

3.    Sebagai Arena untuk mempertunjukkan kesejahteraan dan keperwiraan.
Perang pandan biasanya dilakukan oleh para laki-laki, karena perang pandan itu menggambarkan kekuatan dan kejantanan,m aka seyogyanyamemang laki-laki lah yang memainkanya. Perang pandan yang membutuhkan kekuatan fisit memang sudah identik dengan laki-laki. Biasanya para lelaki sangat antusiasuntuk mengikutinya disebabkan kekuatan seseorang lebih terlihat dengan mengikuti tradisi perang pandan ini. Mereka bisa saling unjuk kejantanan mereka sebagai seorang laki-laki yang mampu melindungi perempuan dan keluarga dengan kekuatan fisiknya dan juga ketangkasannya dalam melawan apa yang menjadi tantangan bagi diri dan orang-orang disekitarnya, sehingga tidak ada wanita yang memainkan perang pandan. Karena wanita cenderung takut perang dan perang pandan memang hanya identik dimainkan oleh laki-laki sebagai simbol kejantanan dan keperwiraan mereka, jadi masyarakat menganggap wanita tidak pantas untuk memainkan perang pandan.

4.    Sebagai pariwisata untuk menarik pengunjung.
Tidak terlepas dari beberapa fungsi perang pandan sebagai suatu ritual yag sakral dalam keagamaan, tetapi perang pandan juga memiliki fungsi yang mungkin tidak hubungannya dengan pemujaan atau persembahan kepada dewa indera. Yaitu berfungsi sebagai menarik minat wisatawan yang justru mendukung kelangsungan perang pandan tersebut. Hampir setiap harinya banyak wisatawan lokal maupun asing yang berdatangan ke desa Tenganan meskipun perang pandan dilaksanankan satu tahu sekali. Peserta perang pandan pun yang dulunya hanya dilakukan oleh masyarakat Tenganan sendiri, tetapi sekarang orang dari luar Tenganan maupun asing dapat menjadi peserta. Dan itu salah satu cara masyarakat Tenganan untuk memepekenalkan perang pandan kepada orang asing.
Keberlangsungan tersebut kini malah membawa dampak untuk perekonomian masyarakat desa Tenganan itu sendiri. Masyarakat dalam kesempatan ini mempunyai usaha untuk memajukan perekonomian mereka, misalkan saja kerajinan membuat pernak-pernik khas Tenganan seperti.

ü  Eksistensi Perang Pandan
                        Masyarakat dalam menyikapi perkembangan zaman sangat tertutup dengan perubahan tersebut.Masyarakat tetap memegang teguh dan mempertahankan budaya seperti aslinya karena masyarakat menganggap bahwa budaya tersebut merupakan warisan dari leluhur dan mereka tidak berani merubah dalam artian tidak berani mengurangi maupun menambahkan sesuatu sekecil apapun dari budaya-budaya yang mereka punya.
            Hingga saat ini pun tradisi perang pandan selalu diterima oleh masyarakat desa Tenganan secara langsung.Masyarakat sangat antusias ketika acara tersebut berlangsung.Tak ada masyarakat yang tidak menerima terhadap tradisi kebudayaan tersebut.Masyarakat Tenganan justru sangat bangga dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada di dalam desanya karena kebudayaan mereka menyenangkan, unik dan hanya ada dalam desa tersebut di daerah Bali, terutama perang pandan itu sendiri. Karena dengan melestarikan kebudayaan tersebut, berarti mereka setia pada Tuhan Yang Maha Esa karena meniru apa yang dilakukan oleh Dewa Indra sebagai dewa perang, juga untuk menghormati Dewa Indra dan mengikuti jalannya dewa Indra ke tempat ia berada. Dewa Indra juga merupakan simbol ibu pertiwi.Perang Pandan merupakan kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan lainnya, dan mereka sangat menjunjung tinggi kebudayaan dari leluhur mereka itu. Bahkan dipercayai apabila ada warga yang menentang kebudayaan tersebut seseorang itu akan mudah terkena musibah. Namun tidak ada hukuman langsung dari pihak adat, yang mereka yakini adalah adanya hukuman dari roh-roh yang dipercaya oleh masyarakat Tenganan.
Hingga saat ini, perang pandan berusaha untuk dijaga kelestarianya oleh masyarakat desa Aga Tenganan. Perang pandan yang dimainkan di tanah lapang maupun dibale yang tingginya 1 meter ini telah menarik perhatian masyarakat desa Tenganan dan tidak sedikit pula berhasil menarik perhatian para turis mancanegara. Hingga pada kehidupan sehari-hari, anak-anak desa Tenganan sudah terbiasa bermain Perang Pandan (hanya sekedar untuk bermain). Menurut salah seorang desa Tenganan. Hal itu juga sebagai latihan mempersiapkan dirinya agar terbiasa dan bisa memainkan perang pandan kelak pada saatnya dewasa. Masyarakat desa Tengana terbuka mengajarkan perang Pandan kepada siapapun, tidak ada latihan khusus bagi anak-anak, namun anak-anaklah yang berinisiatif sendiri untuk memainkan atau meniru bermain perang pandan. Turis wisatawanpun diperbolehkan untuk memainkan perang pandan dengan syarat memakai pakaian adat Tenganan.
Salah satu warga desa Tenganan, I Nyoman Parta Gunawan mengatakan:
“Tidak ada perubahan sama sekali dalam tata cara, pakaian, dan waktunya. Karena masyarakat tidak berani merubah-rubah apa yang telah di wariskan oleh para leluhur kepada kita. Kita sangat menghormati apa yang telah di berikan oleh para leluhur. Sehingga tidak ada perubahan hingga saat ini.Tak ada penambahan dan pengurangan dalam Perang Pandan ini.

Pada kenyataannya saat ini memang tidak ada perubahan secara teknis dalam pelaksanaan perang pandan, tetapi  perang pandan yang semula sakral pun menjadi profan, orang luar tidak hanya menonton, namun mereka pun boleh ikut bertarung dan berpartisipasi dalam perang pandan. Saat ini perang pandan menjadi penarik Pariwisata dan berpengaruh dalam pemasok perekonomian masyarakat desa Tenangan.














KESIMPULAN
Dari paparan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1)      Proses berlangsungnya perang pandan dilaksanakan pada setiap bulan purnama (antara akhir Juni atau awal Juli) satu tahun sekali, berdasarkan kalender Tenganan, syarat perang pandan dimainkan oleh laki-laki minimal berusia 8 tahun berni terkena duri (satu kali pertandingan dua orang laki-laki). Peralatan yang diperlukan yaitu daun pandan dan tameng yang terbuat dari rotan.
2)      Fungsi perang pandan yaitu sebagai penghormatan kepada dewa indra.
·        Sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara dunia natural dengan supranatural
·        Sebagai arena untuk mempertunjukan kejantanan dan keperwiraan.
·        Sebagai fungsi pariwisata
3)      Eksistensi tradisi perang pandan yaitu masyarakat desa tenganan berusaha untuk selalu menjaga dan melestarikan tradisi perang pandan serta selalu akan dilaksanakan setiap tahunya. Secara teknis tidak ada perubahan dalam peraturan perang pandan, namun saat ini perang pandan menjadi provan bagi masyarakat Tenganan untuk menarik pariwisata.










DAFTAR PUSTAKA

























ANGGOTA KELOMPOK LIMA
TRADISI KHUSUS (TRADISI PERANG PANDAN)

NAMA
NIM
ROMBEL
Nur Khayati
3401412003
1
Doni Fajar Rahmanto
3401412048
1
Miftakhul Janah
3401412051
1
Solikhatun Nikmah
3401412056
1
Dani Atika
3401412088
2
Supriyadi
3401412098
2
Laela Dwi Hapsari
3401412107
2
Briliani Avita Dewi
3401412118
2
Lina Fauzal M
3401412158
3
Lina Fauzal M
3401412165
3
Elva Falasefa
3401412168
3
Fitrianingsih
3401412180
3
Devi Setyani
3401412015
4
Silvi Ayu Aprilia
3401412092
4




TUGAS SEJARAH X KERAJAAN ISLAM

1. Carilah 5 Kerajaan Islam yang ada di Indonesia 2. Jelaskan tentang awal berdirinya kerajaan, raja-rajanya, masa kejayaan, masa keruntuhan...