KISAH
PEMUDA BERDARAH DI TANAH TENGANAN
Laela Dwi Hapsari
3401412107
Jurusan
Sosiologi dan Antropologi
Universitas Negeri Semarang
ABSTRAK
Masyarakat Desa Bali
Aga Tenganan menganut sistem kepercayaan Dewa Indra yang merupakan dewa perang
dan dewa kemakmuran. Adapun wujud cara masyarakat desa Tenganan Bali untuk
menghormati Dewa Indra yaitu dengan melakukan tradisi Megaret Pandan atau
Perang Pandan yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Megaret Pandan ini
merupakan ritual keagamaan yang pelakunya hanya melibatkan kaum laki-laki khususnya
pemuda desa Tenganan tersebut dan dalam pelaksanaannya tidak ada menang ataupun
kalah. Megaret Pandan ini merupakan tradisi khusus yang mempunyai makna yang
sangat dalam. Dahulu tradisi ini dilakukan setiap tahun adalah untuk upacara
adat keagamaan dan sebagai rasa hormat kepada Dewa Indra yang telah
menyelamatkan masyarakat Tenganan pada zaman dahulu saat dipimpin raja yang sangat kejam dengan berperang
mengalahkan raja tersebut. Namun sekarang, fungsi dilaksanakannya Megaret
Pandan ini bukan hanya untuk kepentingan yang sakral seperti ritual keagamaan
tetapi sudah beralih fungsi juga sebagai fungsi pariwisata.
Pendahuluan
Dahulu desa Aga Tenganan, Bali
dipimpin oleh seorang raja bernama Maya Dewana. Raja tersebut terkenal sangat
kejam dan tidak adil dalam memimpin wilayah, kekuasaan dan warga desanya.
Selain itu, Raja Maya Dewana juga melarang para warga di desa Tenganan, Bali
untuk melakukan ritual-ritual adat keagamaan Bali. Lebih parah lagi, raja Maya
Denawa juga menganggap dirinya sebagai Tuhan. Dari hal tersebut, dan
menyebabkan dewa-dewa di Surga marah dan memerintahkan Dewa Indra untuk turun
ke Bumi membantu warga desa Tenganan menghadapi Raja Maya Denawa. Dewa Indra
pun turun ke bumi dan membantu warga desa Tenganan menghadapi Raja Maya Denawa
dengan menjadi pemimpin peperangan. Peperangan itu terjadi sangat sengit dan
banyak pertumpahan darah diantara kedua pasukan. Tetapi pada akhirnya, Dewa
Indra yang merupakan Dewa Perang dan Dewa Kemakmuran yang memimpin peperangan
sebagai pembela warga desa Tenganan dapat mengalahkan Raja Maya Denawa beserta
pasukannya dan sebagai rasa terimakasih dan menghargai maupun menghormati jasa
Dewa Indra kepada warga masyarakat desa Tenganan, setiap satu tahun sekali mengadakan
Upacara atau Tradisi Khusus yang dinamakan Megaret Pandan atau Perang Pandan. Megaret
Pandan merupakan tradisi yang hanya dilakukan oleh para kaum laki-laki saja
khususnya para pemuda. Alasan hanya kaum lelakinya saja yang melakukan dan
menjadi pelaku dalam Megaret Pandan ini adalah sebagai simbol kejantanan dan
keberanian para laki-laki di desa Tenganan. Megaret Pandan dilakukan satu kali
dalam setahun tepatnya pada pertengahan bulan Juni (sekitar tanggal 20an) atau
pada awal bulan Juli karena pada bulan-bulan dan waktu-waktu tersebut merupakan
munculnya bulan purnama. Pada dahulu kala, tradisi Megaret Pandan ini dilakukan
hanya untuk keperluan yang sangat sakral, yaitu sebagai ritual upacara
keagamaan, tetapi sering dengan berjalannya waktu, saat desa Aga Tenganan Bali
mulai menjadi daerah pariwisata, tradisi ini berubah fungsinya tidak lagi
sebagai ritual yang sakral melainkan sebagai ritual yang profan dengan
menjadikan tradisi Megaret Pandan ini juga berfungsi sebagai pertunjukkan untuk
pariwisata.
Pembahasan
Pada
zaman dahulu, tradisi khusus ini, Megaret Pandan, dilaksanakan adalah sebagai
tujuannya yaitu untuk ritual upacara keagamaan dan untuk menghormati jasa Dewa
Indra yang telah menyelamatkan warga desa Tenganan dari belenggu kepemimpinan
Rasa yang sangat kejam dan tidak adil bernama Maya Denawa. Selain tujuan
tersebut diatas, warga desa Tenganan mengadakan tradisi Megaret Pandan ini juga
sebagai simbol kejantanan dan keperkasaan para lelaki desa Tenganan, karena
memang tradisi Megaret Pandan ini adalah tradisi khusus yang hanya dilakukan
oleh kaum lelakinya saja. Dahulu tradisi ini hanya dikhususkan dilakukan oleh
warga desa tenganan karena sebagai upacara keagamaan. Para lelaki yang
melakukan tradisi ini wajib menggunakan pakaian adat pemuda bali yang biasa
disebut dengan “Kamben”. Tradisi Megaret Pandan ini dilaksanakan di tempat yang
lapang yaitu di sebuah bale atau panggung. Waktu pelaksanaan biasanya pada
waktu siang hari sekitar pukul 14.00 WITA atau jam 2 siang Waktu Indonesia
Bagian Tengah. Alat-alat yang digunakan dalam tradisi Megaret Pandan ini antara
lain daun pandan berjumlah 20 lembar yang masing-masing lembarnya mempunyai
panjang 30cm. daun pandan yang berjumlah 20 itu kemudian diikatkan menjadi satu
dengan sebuah tali. Selain daun pandan, alat lain yang digunakan adalah sebuah
tameng atau perisai yang terbuat dari rotan yang digunakan sebagai pelindung
para pemain Megaret Pandan. Sebelum dilaksanakan Megaret Pandan, para warga
desa bersama-sama meminum tuak, yaitu air didalam bambu dan para pemain saling
menuangkan air tuak tersebut ke pemain yang lain dengan menggunakan daun pisang
yang digunakan sebagai gelas. Setelah selese meminumnya kemudian tuak tersebut
dibuang di sisi panggung atau balai tempat yang akan dilangsungkannya tradisi
Megaret Pandan. Setelah itu warga bersama-sama berjalan mengelilingi desa yang
hal tersebut merupakan simbol sebagai ritual meminta perlindungan kepada
dewa-dewa dan agar diberi kelancaran selama tradisi Megaret Pandan akan
dilaksanakan. Setelah itu, para pemain Megaret Pandan menarikan sebuah tarian
bernama Tari Abuang dan ditabuhkan juga gamelan Bali. Setelah semua ritual yang
harus dilaksanakan sebelum tradisi Megaret Pandan dilaksanakan sudah
dilaksanakan, tibalah tradisi Megaret Pandan ini dilakukan. Setiap ronde
pelaksanaan Megaret Pandan dilakukan oleh satu pasangan pemain. Ada wasit yang
memimpin jalannya Megaret Pandan ini. Para pemain Megaret Pandan tidak hanya
diperbolehkan hanya untuk pemuda atau laki-laki dewasa saja, anak-anak pun
boleh ikut berpartisipasi dengan syarat minimal sudah berumur 8 tahun dan lawan
mainnya juga harus yang berkekuatan sepadan. Cara melakukan Megaret Pandan ini
adalah para pemain masing-masing memegang ikatan daun pandan dan sebuah tameng
rotan, mereka saling memukul-mukulkan daun pandan dan menggeretnya kebadan
lawan. Syarat tradisi Megaret Pandan ini adalah tidak boleh memukul mengenai
kepala dan alat vital pemain karena hal tersebut tentu akan sangat berbahaya.
Daun pandan itu digunakan layaknya sebuah pedang. Megaret Pandan setiap ronde
berlangsung selama 1 sampai 2 menit saja, atau apabila ada salah satu pemain
yang menyatakan dirinya menyerah dengan cara mengangkat tangannya keatas,
pelaksanaan Megaret Pandan akan diberhentikan atau selesai. Bisa juga apabila
pemimpin pelaksanaan Megaret Pandan melihat adanya salah satu pemain yang
dirasa sudah cukup lemah atau tidak mampu untuk melanjutkan Megaret Pandan maka
pelaksanaan dihentikan. Dalam tradisi Megaret Pandan atau Perang Pandan ini
tidak ada pemenang atau istilah kalah dan menang seperti perang-perang yang
lain. Karena memang tradisi ini merupakan seperti tradisi persahabatan dan
bukan sebagai sebuah kompetisi yang selalu ada pemain yang menang maupun kalah.
Setelah tradisi Megaret Pandan ini selese, para pemain mengalami luka karena
sabetan, pukulan dan geretan daun pandan yang berduri, namun para perempuan
atau kaum perempuan di desa Tenganan sudah menyiapkan obat tradisional untuk
mengobati para pemain yang terluka. Obat tradisional tersebut terdiri dari lengkuas,
kunyit, dan cuka yang di haluskan menjadi satu. Obat tradisional ini biasa
disebut warga desa Tenganan dengan istilah “Boreh Rempah”. Setelah dilakukan
pengobatan dengan obat tradisional tersebut, luka akan cepat mengering dan
sembuh selama 2 sampai 3 hari dengan efek rasa perih. Setelah tradisi Megaret
Pandan selesai dilaksanakan, para warga desa Tenganan bersama-sama memakan
jajanan tradisional maupun makanan tradisional khas Bali. Setelah itu, sehari
setelah dilangsungkannya tradisi megaret Pandan, para warga desa tenganan
khususnya para lelakinya mengadakan ritual atau acara pemotongan babi yang
berat babi tersebut harus 100kg.
Namun
sejak desa Aga Tenganan, Bali dijadikan sebagai tempat pariwisata, fungsi
tradisi Megaret Pandan ini beralih fungsi yang tadinya merupakan tradisi yang
sangat sakral menjadi profan. Dahulu yang menjadi pemain Megaret Pandan hanya dikhususkan
untuk warga desa Tenganan saja yang boleh melakukan tradisi Megaret Pandan
karena sebagai tanda kesetiaan warga desa Tenganan kepada Yang Maha Kuasa yang
telah melindungi warga desa Tenganan dari waktu dulu hingga sekarang dan juga
sebagai rasa hormat atau untuk menghormati jasa Dewa Indra yang dahulu kala
telah memimpin perang membela warga Tenganan dengan cara melawan raja kejam
Maya Denawa yang dahulu memimpin desa Tenganan, bentuk penghormatan kepada Dewa
Indra dari warga desa Tenganan adalah dengan cara mengeluarkan darah pada saat
tradisi Megaret Pandan. Menurut kepercayaan warga desa Tenganan yang meyakini
bahwa kekuatan tertinggi ada pada Dewa Indra yaitu Dewa Kemakmuran, darah yang
keluar dari tubuh para pemain Megaret Pandan yang jatuh ke tanah merupakan
sebagai keseimbangan alam. Hal ini dapat diartikan bahwa warga desa Tenganan
meyakini tentang adanya hal-hal gaib, seperti roh-roh, dewa dan kekuatan magic,
dan darah yang menetes ke tanah itu merupakan persembahan kepada roh-roh dewa
yang ada di alam supranatural. Hal ini sama halnya dengan sebuah teori dari Edward
Tylor yang menyebutkan bahwa adanya kepercayaan animisme dan dinamisme yang
mempercayai bahwa ada roh-roh disekitar mereka yang hidup tanpa raga maupun
roh-roh yang terdapat pada benda-benda, juga dengan kepercayaan polytheisme
yang mempercayai adanya dewa-dewa serta kepercayaan monotheisme yaitu percaya
kepada satu kekuatan tertinggi yaitu Dewa Indra. Tradisi Megaret Pandan ini
juga merupakan bagian dari upacara agama, yaitu dalam hal menyembah Dewa Indra
dan tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai rangkaian tari persembahan
khususnya untuk Dewa Indra. Oleh karena kesakralan tradisi Megaret Pandan ini, waktu
pelaksanaan dan tata cara pelaksanaan Megaret Pandan tidak boleh diubah-ubah
lagi, dan warga desa Tenganan tetap berusaha menjaga keseimbangan antara alam
nyata dengan alam ghaib dengan menjalin hubungan yang serasi dan harmonis
antara warga desa Tenganan dengan roh-roh ghaib disekitar mereka, yang salah
satunya dengan mengadakan tradisi Megaret Pandan setiap satu tahun sekali. Hal
ini menurut seorang ahli bernama Pitirim A. Sorokin yang berpandangan bahwa
terdapat siklus tiga sistem kebudayaan yaitu
kebudayaan ideasional yang merupakan kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai
dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural, kemudian ada kebudayaan
idealistis yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati
(supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam
menciptakan masyarakat ideal., dan kebudayaan sensasi yaitu kebudayaan di mana
sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup, seperti halnya
warga desa Tenganan yang juga mempercayai adanya kekuatan supranatural yaitu
kekuatan dewa-dewa atau roh-roh disekitar mereka yang harus mereka jaga
keseimbangannya.
Selain
berfungsi sebagai wujud rasa hormat warga Tenganan kepada Dewa Indra, tradisi
Megaret Pandan ini juga mempunyai fungsi yaitu sebagai salah satu sarana
instrospeksi diri dari warga desa Tenganan khususnya para pemain Megaret Pandan
yaitu para lelaki atau pemudanya bahwa musuh muncul tidak hanya berasal dari
luar diri mereka tetapi musuh juga dapat berada pada diri mereka sendiri yaitu
dengan menjadi pemain Megaret Pandan mereka dapat memerangi musush dalam diri
mereka berupa rasa takut dari goresan duri daun pandan. Selain itu fungsi
tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai simbol keperkasaan dan kejantanan para
lelaki atau pemuda desa Tenganan, tentunya juga keberanian mereka saat dalam
menjadi pemain Megaret Pandan, itulah sebabnya tradisi Megaret Pandan ini hanya
boleh dilakukan oleh kaum laki-lakinya saja, para kaum perempuan hanya dapat
menonton dan membuatkan obat tradisional untuk mengobati luka para pemain
Megaret Pandan.
Sekarang, keberlangsungan tradisi
Megaret Pandan yang dahulunya merupakan tradisi yang sakral, sekarang sejak
Desa Aga Tenganan, Bali juga menjadi salah satu tempat para turis (baik turis
lokal maupun turis mancanegara) berkunjung atau berpariwisata, tradisi Megaret
Pandan berubah yang tadinya sakral kini menjadi profan. Hal tersebut terjadi
karena setiap tahun setiap kali diadakan tradisi Megaret Pandan, para turis
boleh menontonnya bahkan tradisi Megaret Pandan ini mempunyai daya magnet
tersendiri bagi para turis. Selain itu, orang dari luar desa Tenganan seperti
turis lokal maupun turis mancanegara pun boleh mengikuti tradisi Megaret Pandan
ini, dengan syarat mereka adalah laki-laki, berani dan saat menjadi pemain
Megaret Pandan harus memakai pakaian adat pemuda bali yang disebut Kamben. Walaupun
demikian, tidak ada perubahan dalam tata cara atau sistematika dari awal hingga
akhir tradisi Megaret Pandan, karena tata cara yang disyaratkan dan sudah
dilakukan dari dulu merupakan ketentuan dari para nenek moyang atau leluhur
terdahulu dan para warga desa Tenganan tidak berani mengubah-ubah peraturan
tersebut, baik dalam tata cara, pakaian, maupun waktu pelaksanaan. Hal tersebut
dilakukan para warga desa Tenganan karena mereka sangat menghormati para
leluhur mereka. Berubahnya kesakralan tradisi Megaret Pandan menjadi profan
mempunyai dampak positif yaitu dapat menambah pendapatan ekonomi bagi desa desa
Tenganan dengan penjualan berbagai kerajinan asli desa Tenganan meningkat karena
banyak turis lokal maupun turis asing yang berdatangan tertarik ingin melihat
dan mengetahui tradisi khusus desa Aga Tenganan Bali khususnya Megaret Pandan
yang diadakan satu tahun sekali. Hal ini, jika dikaitkan dengan teori
fungsionalisme Malinowsky yang mengatakan bahwa, segala aktivitas kebudayaan
bermaksud untuk memuaskan kebutuhan, sama halnya dengan berubahnya kesakralan
tradisi Megaret Pandan ke profan adalah untuk sebagai memenuhi kebutuhan
masyarakat atau warga desa Tenganan sebagai tempat pariwisata agar banyak
dikunjungi oleh pariwisatawan sehingga pemasukan di desa Tenganan untuk
pembangunan menjadi bertambah walaupun warga desa Tenganan tetap menjaga
tradisi, melestarikannya dan tidak menghilangkannya.
Penutup
Megaret Pandan merupakan tradisi
khusus desa Tenganan yang diadakan setiap satu tahun sekali pada pertengahan
bulan Juni maupun pada awal bulan Juli. Tradisi ini dilakukan para laki-laki
ataupun pemuda desa Tenganan sebagai wujud menghormati Dewa Indra dan juga
sebagai simbol kejantanan dan keperkasaan para lelaku maupun pemuda desa
Tenganan. Tradisi ini dulunya bersikap sakral karena merupakan bagian dari
upacara keagamaan dan hanya boleh dilakukan warga asli desa Tenganan dan tanpa
melibatkan orang diluar desa, hingga sejak pariwisata di desa Aga Tenganan dibuka, tradisi Megaret Pandan ini menjadi
bersifat profan, yai tradisi ini juga berfungsi sebagai pariwisata dan para
turis lokal maupun asing boleh ikut serta dalam menjadi pemain tanpa menghilangkan
tata cara, pakaian dan waktu untuk pelaksanaan tradisi Megaret Pandan ini.
DAFTAR
PUSTAKA