Jumat, 06 Desember 2013

Contoh Kajian Etnografi

KISAH PEMUDA BERDARAH DI TANAH TENGANAN

Laela Dwi Hapsari
3401412107
Jurusan Sosiologi dan Antropologi
Universitas Negeri Semarang

ABSTRAK
Masyarakat Desa Bali Aga Tenganan menganut sistem kepercayaan Dewa Indra yang merupakan dewa perang dan dewa kemakmuran. Adapun wujud cara masyarakat desa Tenganan Bali untuk menghormati Dewa Indra yaitu dengan melakukan tradisi Megaret Pandan atau Perang Pandan yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Megaret Pandan ini merupakan ritual keagamaan yang pelakunya hanya melibatkan kaum laki-laki khususnya pemuda desa Tenganan tersebut dan dalam pelaksanaannya tidak ada menang ataupun kalah. Megaret Pandan ini merupakan tradisi khusus yang mempunyai makna yang sangat dalam. Dahulu tradisi ini dilakukan setiap tahun adalah untuk upacara adat keagamaan dan sebagai rasa hormat kepada Dewa Indra yang telah menyelamatkan masyarakat Tenganan pada zaman dahulu saat dipimpin raja  yang sangat kejam dengan berperang mengalahkan raja tersebut. Namun sekarang, fungsi dilaksanakannya Megaret Pandan ini bukan hanya untuk kepentingan yang sakral seperti ritual keagamaan tetapi sudah beralih fungsi juga sebagai fungsi pariwisata.

Pendahuluan
            Dahulu desa Aga Tenganan, Bali dipimpin oleh seorang raja bernama Maya Dewana. Raja tersebut terkenal sangat kejam dan tidak adil dalam memimpin wilayah, kekuasaan dan warga desanya. Selain itu, Raja Maya Dewana juga melarang para warga di desa Tenganan, Bali untuk melakukan ritual-ritual adat keagamaan Bali. Lebih parah lagi, raja Maya Denawa juga menganggap dirinya sebagai Tuhan. Dari hal tersebut, dan menyebabkan dewa-dewa di Surga marah dan memerintahkan Dewa Indra untuk turun ke Bumi membantu warga desa Tenganan menghadapi Raja Maya Denawa. Dewa Indra pun turun ke bumi dan membantu warga desa Tenganan menghadapi Raja Maya Denawa dengan menjadi pemimpin peperangan. Peperangan itu terjadi sangat sengit dan banyak pertumpahan darah diantara kedua pasukan. Tetapi pada akhirnya, Dewa Indra yang merupakan Dewa Perang dan Dewa Kemakmuran yang memimpin peperangan sebagai pembela warga desa Tenganan dapat mengalahkan Raja Maya Denawa beserta pasukannya dan sebagai rasa terimakasih dan menghargai maupun menghormati jasa Dewa Indra kepada warga masyarakat desa Tenganan, setiap satu tahun sekali mengadakan Upacara atau Tradisi Khusus yang dinamakan Megaret Pandan atau Perang Pandan. Megaret Pandan merupakan tradisi yang hanya dilakukan oleh para kaum laki-laki saja khususnya para pemuda. Alasan hanya kaum lelakinya saja yang melakukan dan menjadi pelaku dalam Megaret Pandan ini adalah sebagai simbol kejantanan dan keberanian para laki-laki di desa Tenganan. Megaret Pandan dilakukan satu kali dalam setahun tepatnya pada pertengahan bulan Juni (sekitar tanggal 20an) atau pada awal bulan Juli karena pada bulan-bulan dan waktu-waktu tersebut merupakan munculnya bulan purnama. Pada dahulu kala, tradisi Megaret Pandan ini dilakukan hanya untuk keperluan yang sangat sakral, yaitu sebagai ritual upacara keagamaan, tetapi sering dengan berjalannya waktu, saat desa Aga Tenganan Bali mulai menjadi daerah pariwisata, tradisi ini berubah fungsinya tidak lagi sebagai ritual yang sakral melainkan sebagai ritual yang profan dengan menjadikan tradisi Megaret Pandan ini juga berfungsi sebagai pertunjukkan untuk pariwisata.

Pembahasan
Pada zaman dahulu, tradisi khusus ini, Megaret Pandan, dilaksanakan adalah sebagai tujuannya yaitu untuk ritual upacara keagamaan dan untuk menghormati jasa Dewa Indra yang telah menyelamatkan warga desa Tenganan dari belenggu kepemimpinan Rasa yang sangat kejam dan tidak adil bernama Maya Denawa. Selain tujuan tersebut diatas, warga desa Tenganan mengadakan tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai simbol kejantanan dan keperkasaan para lelaki desa Tenganan, karena memang tradisi Megaret Pandan ini adalah tradisi khusus yang hanya dilakukan oleh kaum lelakinya saja. Dahulu tradisi ini hanya dikhususkan dilakukan oleh warga desa tenganan karena sebagai upacara keagamaan. Para lelaki yang melakukan tradisi ini wajib menggunakan pakaian adat pemuda bali yang biasa disebut dengan “Kamben”. Tradisi Megaret Pandan ini dilaksanakan di tempat yang lapang yaitu di sebuah bale atau panggung. Waktu pelaksanaan biasanya pada waktu siang hari sekitar pukul 14.00 WITA atau jam 2 siang Waktu Indonesia Bagian Tengah. Alat-alat yang digunakan dalam tradisi Megaret Pandan ini antara lain daun pandan berjumlah 20 lembar yang masing-masing lembarnya mempunyai panjang 30cm. daun pandan yang berjumlah 20 itu kemudian diikatkan menjadi satu dengan sebuah tali. Selain daun pandan, alat lain yang digunakan adalah sebuah tameng atau perisai yang terbuat dari rotan yang digunakan sebagai pelindung para pemain Megaret Pandan. Sebelum dilaksanakan Megaret Pandan, para warga desa bersama-sama meminum tuak, yaitu air didalam bambu dan para pemain saling menuangkan air tuak tersebut ke pemain yang lain dengan menggunakan daun pisang yang digunakan sebagai gelas. Setelah selese meminumnya kemudian tuak tersebut dibuang di sisi panggung atau balai tempat yang akan dilangsungkannya tradisi Megaret Pandan. Setelah itu warga bersama-sama berjalan mengelilingi desa yang hal tersebut merupakan simbol sebagai ritual meminta perlindungan kepada dewa-dewa dan agar diberi kelancaran selama tradisi Megaret Pandan akan dilaksanakan. Setelah itu, para pemain Megaret Pandan menarikan sebuah tarian bernama Tari Abuang dan ditabuhkan juga gamelan Bali. Setelah semua ritual yang harus dilaksanakan sebelum tradisi Megaret Pandan dilaksanakan sudah dilaksanakan, tibalah tradisi Megaret Pandan ini dilakukan. Setiap ronde pelaksanaan Megaret Pandan dilakukan oleh satu pasangan pemain. Ada wasit yang memimpin jalannya Megaret Pandan ini. Para pemain Megaret Pandan tidak hanya diperbolehkan hanya untuk pemuda atau laki-laki dewasa saja, anak-anak pun boleh ikut berpartisipasi dengan syarat minimal sudah berumur 8 tahun dan lawan mainnya juga harus yang berkekuatan sepadan. Cara melakukan Megaret Pandan ini adalah para pemain masing-masing memegang ikatan daun pandan dan sebuah tameng rotan, mereka saling memukul-mukulkan daun pandan dan menggeretnya kebadan lawan. Syarat tradisi Megaret Pandan ini adalah tidak boleh memukul mengenai kepala dan alat vital pemain karena hal tersebut tentu akan sangat berbahaya. Daun pandan itu digunakan layaknya sebuah pedang. Megaret Pandan setiap ronde berlangsung selama 1 sampai 2 menit saja, atau apabila ada salah satu pemain yang menyatakan dirinya menyerah dengan cara mengangkat tangannya keatas, pelaksanaan Megaret Pandan akan diberhentikan atau selesai. Bisa juga apabila pemimpin pelaksanaan Megaret Pandan melihat adanya salah satu pemain yang dirasa sudah cukup lemah atau tidak mampu untuk melanjutkan Megaret Pandan maka pelaksanaan dihentikan. Dalam tradisi Megaret Pandan atau Perang Pandan ini tidak ada pemenang atau istilah kalah dan menang seperti perang-perang yang lain. Karena memang tradisi ini merupakan seperti tradisi persahabatan dan bukan sebagai sebuah kompetisi yang selalu ada pemain yang menang maupun kalah. Setelah tradisi Megaret Pandan ini selese, para pemain mengalami luka karena sabetan, pukulan dan geretan daun pandan yang berduri, namun para perempuan atau kaum perempuan di desa Tenganan sudah menyiapkan obat tradisional untuk mengobati para pemain yang terluka. Obat tradisional tersebut terdiri dari lengkuas, kunyit, dan cuka yang di haluskan menjadi satu. Obat tradisional ini biasa disebut warga desa Tenganan dengan istilah “Boreh Rempah”. Setelah dilakukan pengobatan dengan obat tradisional tersebut, luka akan cepat mengering dan sembuh selama 2 sampai 3 hari dengan efek rasa perih. Setelah tradisi Megaret Pandan selesai dilaksanakan, para warga desa Tenganan bersama-sama memakan jajanan tradisional maupun makanan tradisional khas Bali. Setelah itu, sehari setelah dilangsungkannya tradisi megaret Pandan, para warga desa tenganan khususnya para lelakinya mengadakan ritual atau acara pemotongan babi yang berat babi tersebut harus 100kg.
Namun sejak desa Aga Tenganan, Bali dijadikan sebagai tempat pariwisata, fungsi tradisi Megaret Pandan ini beralih fungsi yang tadinya merupakan tradisi yang sangat sakral menjadi profan. Dahulu yang menjadi pemain Megaret Pandan hanya dikhususkan untuk warga desa Tenganan saja yang boleh melakukan tradisi Megaret Pandan karena sebagai tanda kesetiaan warga desa Tenganan kepada Yang Maha Kuasa yang telah melindungi warga desa Tenganan dari waktu dulu hingga sekarang dan juga sebagai rasa hormat atau untuk menghormati jasa Dewa Indra yang dahulu kala telah memimpin perang membela warga Tenganan dengan cara melawan raja kejam Maya Denawa yang dahulu memimpin desa Tenganan, bentuk penghormatan kepada Dewa Indra dari warga desa Tenganan adalah dengan cara mengeluarkan darah pada saat tradisi Megaret Pandan. Menurut kepercayaan warga desa Tenganan yang meyakini bahwa kekuatan tertinggi ada pada Dewa Indra yaitu Dewa Kemakmuran, darah yang keluar dari tubuh para pemain Megaret Pandan yang jatuh ke tanah merupakan sebagai keseimbangan alam. Hal ini dapat diartikan bahwa warga desa Tenganan meyakini tentang adanya hal-hal gaib, seperti roh-roh, dewa dan kekuatan magic, dan darah yang menetes ke tanah itu merupakan persembahan kepada roh-roh dewa yang ada di alam supranatural. Hal ini sama halnya dengan sebuah teori dari Edward Tylor yang menyebutkan bahwa adanya kepercayaan animisme dan dinamisme yang mempercayai bahwa ada roh-roh disekitar mereka yang hidup tanpa raga maupun roh-roh yang terdapat pada benda-benda, juga dengan kepercayaan polytheisme yang mempercayai adanya dewa-dewa serta kepercayaan monotheisme yaitu percaya kepada satu kekuatan tertinggi yaitu Dewa Indra. Tradisi Megaret Pandan ini juga merupakan bagian dari upacara agama, yaitu dalam hal menyembah Dewa Indra dan tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai rangkaian tari persembahan khususnya untuk Dewa Indra. Oleh karena kesakralan tradisi Megaret Pandan ini, waktu pelaksanaan dan tata cara pelaksanaan Megaret Pandan tidak boleh diubah-ubah lagi, dan warga desa Tenganan tetap berusaha menjaga keseimbangan antara alam nyata dengan alam ghaib dengan menjalin hubungan yang serasi dan harmonis antara warga desa Tenganan dengan roh-roh ghaib disekitar mereka, yang salah satunya dengan mengadakan tradisi Megaret Pandan setiap satu tahun sekali. Hal ini menurut seorang ahli bernama Pitirim A. Sorokin yang berpandangan bahwa terdapat  siklus tiga sistem kebudayaan yaitu kebudayaan ideasional yang merupakan kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural, kemudian ada kebudayaan idealistis yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal., dan kebudayaan sensasi yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup, seperti halnya warga desa Tenganan yang juga mempercayai adanya kekuatan supranatural yaitu kekuatan dewa-dewa atau roh-roh disekitar mereka yang harus mereka jaga keseimbangannya.
Selain berfungsi sebagai wujud rasa hormat warga Tenganan kepada Dewa Indra, tradisi Megaret Pandan ini juga mempunyai fungsi yaitu sebagai salah satu sarana instrospeksi diri dari warga desa Tenganan khususnya para pemain Megaret Pandan yaitu para lelaki atau pemudanya bahwa musuh muncul tidak hanya berasal dari luar diri mereka tetapi musuh juga dapat berada pada diri mereka sendiri yaitu dengan menjadi pemain Megaret Pandan mereka dapat memerangi musush dalam diri mereka berupa rasa takut dari goresan duri daun pandan. Selain itu fungsi tradisi Megaret Pandan ini juga sebagai simbol keperkasaan dan kejantanan para lelaki atau pemuda desa Tenganan, tentunya juga keberanian mereka saat dalam menjadi pemain Megaret Pandan, itulah sebabnya tradisi Megaret Pandan ini hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-lakinya saja, para kaum perempuan hanya dapat menonton dan membuatkan obat tradisional untuk mengobati luka para pemain Megaret Pandan.
            Sekarang, keberlangsungan tradisi Megaret Pandan yang dahulunya merupakan tradisi yang sakral, sekarang sejak Desa Aga Tenganan, Bali juga menjadi salah satu tempat para turis (baik turis lokal maupun turis mancanegara) berkunjung atau berpariwisata, tradisi Megaret Pandan berubah yang tadinya sakral kini menjadi profan. Hal tersebut terjadi karena setiap tahun setiap kali diadakan tradisi Megaret Pandan, para turis boleh menontonnya bahkan tradisi Megaret Pandan ini mempunyai daya magnet tersendiri bagi para turis. Selain itu, orang dari luar desa Tenganan seperti turis lokal maupun turis mancanegara pun boleh mengikuti tradisi Megaret Pandan ini, dengan syarat mereka adalah laki-laki, berani dan saat menjadi pemain Megaret Pandan harus memakai pakaian adat pemuda bali yang disebut Kamben. Walaupun demikian, tidak ada perubahan dalam tata cara atau sistematika dari awal hingga akhir tradisi Megaret Pandan, karena tata cara yang disyaratkan dan sudah dilakukan dari dulu merupakan ketentuan dari para nenek moyang atau leluhur terdahulu dan para warga desa Tenganan tidak berani mengubah-ubah peraturan tersebut, baik dalam tata cara, pakaian, maupun waktu pelaksanaan. Hal tersebut dilakukan para warga desa Tenganan karena mereka sangat menghormati para leluhur mereka. Berubahnya kesakralan tradisi Megaret Pandan menjadi profan mempunyai dampak positif yaitu dapat menambah pendapatan ekonomi bagi desa desa Tenganan dengan penjualan berbagai kerajinan asli desa Tenganan meningkat karena banyak turis lokal maupun turis asing yang berdatangan tertarik ingin melihat dan mengetahui tradisi khusus desa Aga Tenganan Bali khususnya Megaret Pandan yang diadakan satu tahun sekali. Hal ini, jika dikaitkan dengan teori fungsionalisme Malinowsky yang mengatakan bahwa, segala aktivitas kebudayaan bermaksud untuk memuaskan kebutuhan, sama halnya dengan berubahnya kesakralan tradisi Megaret Pandan ke profan adalah untuk sebagai memenuhi kebutuhan masyarakat atau warga desa Tenganan sebagai tempat pariwisata agar banyak dikunjungi oleh pariwisatawan sehingga pemasukan di desa Tenganan untuk pembangunan menjadi bertambah walaupun warga desa Tenganan tetap menjaga tradisi, melestarikannya dan tidak menghilangkannya.

Penutup
            Megaret Pandan merupakan tradisi khusus desa Tenganan yang diadakan setiap satu tahun sekali pada pertengahan bulan Juni maupun pada awal bulan Juli. Tradisi ini dilakukan para laki-laki ataupun pemuda desa Tenganan sebagai wujud menghormati Dewa Indra dan juga sebagai simbol kejantanan dan keperkasaan para lelaku maupun pemuda desa Tenganan. Tradisi ini dulunya bersikap sakral karena merupakan bagian dari upacara keagamaan dan hanya boleh dilakukan warga asli desa Tenganan dan tanpa melibatkan orang diluar desa, hingga sejak pariwisata di desa Aga Tenganan  dibuka, tradisi Megaret Pandan ini menjadi bersifat profan, yai tradisi ini juga berfungsi sebagai pariwisata dan para turis lokal maupun asing boleh ikut serta dalam menjadi pemain tanpa menghilangkan tata cara, pakaian dan waktu untuk pelaksanaan tradisi Megaret Pandan ini.





DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS SEJARAH X KERAJAAN ISLAM

1. Carilah 5 Kerajaan Islam yang ada di Indonesia 2. Jelaskan tentang awal berdirinya kerajaan, raja-rajanya, masa kejayaan, masa keruntuhan...