“SETETES DARAH DALAM MEGARET PANDAN”
Kelompok 5
ABSTRAK
Desa bali aga
Tenganan memiliki kepercayaan yang berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Umat
Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa
sebagai dewa tertinggi. Namun bagi warga Tenganan Dewa Indra adalah dewa
tertinggi, mengapa demikian?karena upacara di tenganan ini menganut
agama hindu aliran indra dan sudah di ketahui bahwa dewa indra adalah dewa kemakmuran,
dewa perang, Dewa
yang merupakan simbol ibu pertiwi dan dewa dari segala
dewa. Upacara yang digunakan oleh masyarakat desa bali aga
tenganan untuk menghormati dewa tertinggi dan leluhurnya tersebut adalah perang
pandan. Perang
pandan hampir sama seperti perang lainnya yaitu bagaimana caranya untuk mengenai musuhnya. Namun, dalam perang pandan tidak ada kalah dan menang karna
memang perang ini bukanlah ditujukan sebagai sebuah kompetisi, melainkan ritual
upacara keagamaan masyarakat bali aga tenganan. Sehingga perang ini mempunyai
makna yang sangat mendalam.
Dalam meneliti tradisi khusus (tradisi perang pandan) di
desa tenganan ini kami menggunakan metode penelitian kualitatif, sebuah metode
yang fokus terhadap asumsi berdasarkan fakta yang mengkaji tentang fenomena dan
situasi sosial. Adapun topik bahasan yang kami teliti adalah mengenai latar
belakang, proses, fungsi dan eksistensi perang pandan khususnya bagi masyarakat
desa tenganan itu sendiri. Metode pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dengan data primer antara lain
yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sedang
data sekunder adalah bersumber dari internet dan beberapa referensi buku yang
ada.
Kesimpulan dari hasil laporan yang kami buat adalah bahwa
perang pandan adalah sebuah ritual yang sarat fungsi dan makna. Kesimpulan dari
hasil laporan yang kami buat yaitu bahwa dalam proses perang pandan tidak
mengalami perubahan yang signifikan, artinya Perang Pandan yang di laksanakan
pada saat ini masih menggunakan tata cara dan tradisi yang telah ditentukan
oleh nenek moyang mereka, saat ini masih menggunakan pandan dan tameng yang
terbuat dari rotan sebagai alatnya.
Dari aspek fungsi, Perang Pandan saat ini telah mengalami
perubahan fungsi, yaitu ketika pada masa lalu fungsi Perang Pandan benar-benar
hanya menjadi tradisi yang bersifat sakral, sedangkan pada saat ini Perang
Pandan telah berkembang dan memiliki fungsi-fungsi profan tertentu, salah
satunya kepentingan pariwisata.
Dari aspek
eksistensi, hingga saat ini Perang Pandan masih menjadi tradisi, masyarakat
desa Tenganan masih berusaha melestarikan, menjaga, dan memperkenalkan Perang
Pandan kepada para pemuda dan anak-anak Desa Tenganan.
Kata kunci ;Megaret pandan, Tradisi, Desa Tenganan.
PENDAHULUAN
Perang pandan merupakan sebuah tradisi yang hingga kini masih
dijaga keberadaannya atau
dilestarikan oleh masyarakat desa Aga Tenganan, Bali.Perang Pandan sudah
menjadi tradisi yang wajib ada di setiap tahunnya.Menurut sejarah masyarakat
desa Aga Tenganan Bali, dahulu desa Aga Tenganan, Bali dipimpin oleh seorang
Raja yang bernama Maya Denawa.Raja Maya Denawa dikenal sebagai raja yang kejam dan tidak
adil.Ia menganggap dirinya sebagai Tuhan, Raja Maya Denawa juga melarang
Masyarakat desa Aga Tenganan untuk melakukan ritual-ritual keagamaan di Bali. Hal ini
mengakibatkan Dewa di surga murkadan memerintahkan dewa Indrasebagai panglima
perang untuk memimpin pertempuran darah (perang)dengan raja Maya Denawa.
Perang atau pertempuran sengit
itu berlangsung, dewa Indera diikuti oleh banyak -pasukannya memimpin perang
melawan Raja Maya Denawa, terjadi peertumpahan darah dan setelah peliknya
perang itu akhuirnya , dewa indera bisa mengalahkan Raja Maya Denawa, Dewa
indera dan para pasukannya memenangkan perang tersebut dan menyelamatkan warga
desa Tenganan dari genggaman Raja yang kejam.
Dari peristiwa itu, masyarakat desa
Tenganan
menjadi menghormatidewa Indera (dewa
perang),
mereka ingin mengenang peristiwa pengorbanan beliau ketika berperang untuk
membela warga desa dengan mengadakan perang pandan. Perang pandang dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada akhir bulan
juni atau awal bulan juli (pada bulan purnama). Tradisi perang pandan dilakukan
atau dimainkan oleh dua orang laki-laki sebagai simbol keberanian mereka hingga
meneteskan darah dari luka bekas geretan pandan.
Perang pandan merupakan bagian dari
upacara besar yang disebut Usaba Sembah, semula perang pandan dilakukan
tertutup, yaitu hanya untuk warga Tenganan.Namun, ketika pariwisata mulai masuk
di desa Tenganan, yaitu pada tahun 1930-an, perang pandan yang semula sakral
pun menjadi profan, orang luar tidak hanya boleh menonton, namun mereka pun
boleh ikut bertarung.
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
berikut:
- Bagaimana proses berlangsungnya perang pandan
di desa Tenganan ?
- Apa fungsi perang pandan bagi masyarakat desa
Tenganan?
- Bagaimana eksistensi tradisi perang pandan di masyarakat Desa
Tenganan pada saat ini?
Metode penelitian
Dalam penelitian tradisi khusus
(tradisi perang pandan) di desa Tenganan ini kami menggunaan metode penelitian
kualitatif, sebuah metode yang fokus terhadap asumsi berdasarkan fakta yang
mengkaji tentang fenomena dan situasi sosial.
Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data
dengan data primer antara lain yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Sedangkan data sekunder adalah bersumber dari internet dan beberapa referensi
buku yang ada. Informan peneliti adalah orang
masyarakat Tenganan, antara lain kades, pemuda, anak-anak dan perempuan
desa aga Tenganan, Bali.
PEMBAHASAN
ü Proses Terjadinya Perang Pandan
Di
Desa Adat Tenganan, Bali, terdapat suatu tradisi masyarakat yang unik yaitu
tradisi “Perang Pandan” atau “Magaret Pandan” dan dalam bahasa Bali disebut
dengan “Mekare-kare”. menurut Kepala
Desa Tenganan, I Putu mengatakan:
”dinamakan perang pandan karena
dalamperang tersebut digunakan daun pandan yang berduri agar mudah melukai
lawan main”.
. Tradisi ini
dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) dan
merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yaitu upacara keagamaan terbesar di
Desa Tenganan.Sasih Kalima yang berlangsung adalah antara bulan
Mei sampai Juni. Terkadang waktu
pelaksanaan juga ditentukan oleh karma desa, namun tetap mengacu pada kalender
adat Bali.Perang pandan biasanya dilaksanakan pada siang hari, sekitar pukul
14.00. Sebelum perang pandan dimulai,
masyarakat menabuh gamelan di bale pertemuan. Bale pertemuan, sebagai tanda
sudah dimulainya perang pandan. Panggung untuk tempat bermainnya perang pandan
benar-benar seperti ring tinju. Bedanya panggung perang pandan itu tanpa tali
pengaman yang mengelilingi, tetapi pengamannya adalah para pemedek (orang yang
ikut upacara) itu sendiri. Sebelum perang pandan dimulai, ada upacara minum
tuak dulu. Tuak di bambu dituangkan kedau pisang yang berfungsi seperti seperti
gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain semua
lalu dikumpulkan pada satu orang yang kemudian membuang tuak itu ke samping
panggung hingga bau tuak tercium sangat kuat.
Perang Pandan
dilaksanakan di tempat yang lapang karena tentunya akan diikuti oleh banyak
warga dan juga akan disaksikan oleh masyarakat, baik warga local, maupun turis
domestik dan turis asing.
Sebelum melaksanakan
perang pandan, terdapat upacara atau ritual yang harus dilaksanakan terlebih
dahulu, yaitu para peserta perang pandan harus mengelilingi desa sebagai wujud
permohonan perlindungan dan keselamatan agar pelaksanaan perang pandan dapat
berlangsung dengan lancar.Selain itu, juga dilakukan tari abuang yang ditarikan
oleh para peserta perang pandan.
Secara teknis, perang
pandan dilaksanakan oleh dua orang pemuda yang bertindak sebagai lawan layaknya
pertandingan karate yang juga terdapat wasit untuk memimpin jalannya
perang.Perang pandan juga dilaksanakan dengan diiringi gamelan khas Bali.
Pelaku perang pandan
harus laki-laki, karena memang belum pernah ada peserta perempuan dalam
pelaksanaan perang pandan. Pelaku perang pandan juga tidak ditentukan batasan
usia dan jumlahnya, karena syaratnya adalah berani terkena duri daun pandan.
Biasanya anak-anak kecil juga bisa mengikuti tradisi tersebut apabila ada lawan
yang seimbang. Anak-anak yang mengikuti tradisi perang pandan biasanya mulai
dari usia delapan atau sepuluh tahun. Pelaku perang pandan juga tidaklah harus
warga asli desa Tenganan.Warga di luar desa, bahkan turis asing juga bisa
menjadi pelaku perang pandan.
Pelaksanaan
perang pandan
Syarat khusus
pelaksanaan perang pandan adalah harus mengenakan pakaian adat pemuda Bali
“Kamben” dengan bertelanjang dada.Alat utama dalam tradisi ini adalah Tameng /
perisai yang biasanya terbuat dari bambu atau rotan dan daun pandan.Daun pandan
tersebut terdiri dari dua puluh lembar daun yang diikat dengan panjang sekitar
30 cm. Daun pandan digunakan layaknya pedang.
Pemain memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya
terlebih dahulu. Mereka berpelukan, saling memukul punggung lawan dengan daun
pandan lalu menggeretnya, sehingga ritual ini disebut Megeret Pandan. Perang
pandan memang kegiatan maskulin, macho pesertanya hanya laki-laki. Perempuan
hanya menjadi penyaksi ketika perang berlangsung. Namun begitu perang selesai,
para perempuan sigap memberikan obat.
Bagian tubuh yang tidak boleh dikenai
adalah bagian kepala dan alat vital.Pelaksanaan perang dianggap selesai ketika
salah satu dari pemuda ada yang melambaikan tangan sebagai tanda menyerah atau
setelah salah satu peserta sudah menyerah atau dirasa sudah cukup oleh pemimpin
pertandingan.Dalam perang pandan tidak ada istilah menang ataupun kalah, karena
merupakan salah satu dari pelaksanaan tradisi perang layaknya pertandingan
persahabatan.Karena tajamnya duri-duri daun pandan, maka akan terjadi luka
goresan pada tubuh pelaku perang pandan. Para pelaku perang yang terluka
diobati secara tradisional dengan menggunakan “Boreh Rempah” yang terbuat dari
kunyit, lengkuas dan cuka yang dibuat oleh “Dahe” (Perempuan pembuat Boreh
Rempah) dan memang menimbulkan rasa perih pada bagian yang terluka. Namun, para
pemuda pelaku perang mayoritas juga bisa membuat obat tersebut.
Menurut I
Nyoman Patra Gunawan:
“ada
obat tradisional yang di buat oleh masyarakat Tenganan. Obat tersebut terbuat
dari kunyit dan sedikit cuka, tidak sampai dua
minggu luka itu dapat sembuh.Karena obatanya sangat mujarab”.
Selesai perang, punggung dan pundak
peserta memang penuh bercak darah yang mengalir akibat geretan daun pandan.
Masyarakat menganggap bahwa jika mereka sudah mengeluarkan darah mereka merasa
sudah melakukan bakti kepada leluhur, mereka menghormati dewa Indera dan
berbakti kepada tradisinya.Menurut mereka, darah yang menetes ke tanah
berfungsi sebagai penyeimbang alam.Daun pandan digunakan dalam perang pandan
karena daun pandan berduri tetapi tidak menimbulkan infeksi.
Selain mengingatkan kepada dewa
Indera, tradisi ini juga untuk mengingatkan bahwa desa Tenganan merupakan suatu
desa yang memiliki benteng, sehingga dianggap perlu dilengkapi dengan kekuatan
atau pertahanan prajurit.nyembuhan dengan “Boreh
Rempah’ adalah sekitar dua sampai tiga hari.
Setelah pelaksanaan
perang dan pengobatan seketika di lapangan, para pelaku perang melakukan
upacara penutupan dengan makan “jajan” bersama.
Kemudian pada hari
setelah perang dilaksanakan upacara pemotongan babi dengan syarat beratnya
adalah 100 kg.
ü Fungsi Perang
Pandan
- Fungsi sebagai penghormatan kepada Dewa Indera
Perang pandan yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat Desa Aga
Tenganan antara lain befungsi sebagai, kepercayaan warga
Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Umat Hindu Bali pada
umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa
tertinggi.Namun bagi warga Tenganan Dewa Indra adalah dewa dari segala
dewa.Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah
dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan.
Salah satu warga desa Tenganan Mengatakan:
“Semua
masyarakat tetap menerima warisan-warisan dari leluhur. Tak ada masyarakat yang
tidak menerima. Perang Pandan merupakan tanda setia pada yang Maha Kuasa dan
untuk menghormati dewa perang yaitu dewa Indra dengan cara mengeluarkan darah
pada saat perang berlangsung”.
Perang
ini adalah bagian dari upacara agama, karena fungsi perang ini juga sebagai
persembahan kepada dewa indra. Perang pandan di katagorikan sebagai Tari wali/
tari sakral yang hanya bisa di pentaskan dan diadakan pada saat yang sudah di
tentukan, jadi tidak boleh digeser dan ditambah. Kemudian perang pandan
merupakan salah satu rangkaiaan tari persembahan, khususnya kepada dewa indra
juga terhadap ida sang widhiwasa.
secara
umum mengapa dewa indra yang dijadikan sebagai dewa tertinggi, karena upacara
di tenganan ini menganut agama hindu aliran indra dan sudah di ketahui bahwa
dewa indra sebagai dewa kemakmuran juga di kenal sebagai dewa perang. Perang
pandan juga bersifat seperti perang yang
lainnya yaitu bagaimana caranya untuk mengenai
musuhnya, dalam arti tidak ada kalah menang di jauh kan dari rasa dendam dan yang terpenting intinya perang
pandan ini secara jelas untuk melengkapi upacara.
Fungsi
pandan, jika satu durinya patah tidak menyebabkan luka kalau durinya sampai
tertanam dan jika tidak di obati pun tidak akan infeksi. Untuk mempercepat
proses pengeringan diobati dengan campuran lengkuas,air cuka sedikit dan kunyit
sehingga mempercepat penyembuhan luka tersebut. Saat terkena duri rasa
sakit memang belum terasa akan tetapi saat diberi obat akan terasa sedikit
perih namun rasa perih tersebut tidak berlangsung lama.
Sebenarnya
pemaknaannya tidak hanya sekedar meneteskan darah saja namun lebih dari
itu,seperti yang telah disebutkan di atas bahwa makna ritual perang ini adalah
pertama wujud bakti pada dewa indra, yang kedua agar para pemuda di desa tenganan belajar introspeksi diri, dimana musuh kita
itu bukan hanya berasal dari luar diri, namun terkadang musuh kita itu muncul
dari dalam diri sendiri, bagaimana para pemuda atau peserta perang pandan itu
menunjukkan seninya mengeluarkan emosi. Makna selanjutnya adalah sebagai
persembahan keseimbangan kepada bumi.
2.
Sebagai upaya
menciptakan keseimbangan antara dunia natural dengan supernatural.
Pemain perang pandan biasanya terluka hingga meneteskan
darah mereka ke tanah. Mereka menganggaps bahwa darah yang menetes tersebut
sebagai penyeimbang alam, artinya mereka (masyarakat desa aga Tenganan) masih
mempercayai hal-hal gaib seperti roh halu, dewa-dewa dan kekuatan magic. Yang
meneteskan tersebut dipercayai sebagai simbol persembahan untuk roh halus dan dewa
yang ada di alam supranatural.
Menurut mereka hubungan keserasian antara alam nyata dan
alam gaib itu harus dijaga, dan masyarakat Aga Tenganan berusaha untuk
menciptakan hubungan atau suasana harmonis antara manusia (masyarakat desa Tenganan) dengan roh halus yang ada
disana.
3.
Sebagai Arena untuk
mempertunjukkan kesejahteraan dan keperwiraan.
Perang pandan biasanya dilakukan oleh para laki-laki,
karena perang pandan itu menggambarkan kekuatan dan kejantanan,m aka
seyogyanyamemang laki-laki lah yang memainkanya. Perang pandan yang membutuhkan
kekuatan fisit memang sudah identik dengan laki-laki. Biasanya para lelaki
sangat antusiasuntuk mengikutinya disebabkan kekuatan seseorang lebih terlihat
dengan mengikuti tradisi perang pandan ini. Mereka bisa saling unjuk kejantanan
mereka sebagai seorang laki-laki yang mampu melindungi perempuan dan keluarga
dengan kekuatan fisiknya dan juga ketangkasannya dalam melawan apa yang menjadi
tantangan bagi diri dan orang-orang disekitarnya, sehingga tidak ada wanita yang
memainkan perang pandan. Karena wanita cenderung takut perang dan perang pandan
memang hanya identik dimainkan oleh laki-laki sebagai simbol kejantanan dan
keperwiraan mereka, jadi masyarakat menganggap wanita tidak pantas untuk
memainkan perang pandan.
4.
Sebagai pariwisata
untuk menarik pengunjung.
Tidak terlepas dari beberapa fungsi perang pandan sebagai
suatu ritual yag sakral dalam keagamaan, tetapi perang pandan juga memiliki
fungsi yang mungkin tidak hubungannya dengan pemujaan atau persembahan kepada
dewa indera. Yaitu berfungsi sebagai menarik minat wisatawan yang justru
mendukung kelangsungan perang pandan tersebut. Hampir setiap harinya banyak
wisatawan lokal maupun asing yang berdatangan ke desa Tenganan meskipun perang
pandan dilaksanankan satu tahu sekali. Peserta perang pandan pun yang dulunya
hanya dilakukan oleh masyarakat Tenganan sendiri, tetapi sekarang orang dari
luar Tenganan maupun asing dapat menjadi peserta. Dan itu salah satu cara
masyarakat Tenganan untuk memepekenalkan perang pandan kepada orang asing.
Keberlangsungan tersebut kini malah membawa dampak untuk
perekonomian masyarakat desa Tenganan itu sendiri. Masyarakat dalam kesempatan
ini mempunyai usaha untuk memajukan perekonomian mereka, misalkan saja
kerajinan membuat pernak-pernik khas Tenganan seperti.
ü Eksistensi
Perang Pandan
Masyarakat dalam menyikapi perkembangan zaman sangat
tertutup dengan perubahan tersebut.Masyarakat tetap memegang teguh dan
mempertahankan budaya seperti aslinya karena masyarakat menganggap bahwa budaya
tersebut merupakan warisan dari leluhur dan mereka tidak berani merubah dalam
artian tidak berani mengurangi maupun menambahkan sesuatu sekecil apapun dari
budaya-budaya yang mereka punya.
Hingga
saat ini pun tradisi perang pandan selalu diterima oleh masyarakat desa
Tenganan secara langsung.Masyarakat sangat antusias ketika acara tersebut
berlangsung.Tak ada masyarakat yang tidak menerima terhadap tradisi kebudayaan
tersebut.Masyarakat Tenganan justru sangat bangga dengan kebudayaan-kebudayaan
yang ada di dalam desanya karena kebudayaan mereka menyenangkan, unik dan hanya
ada dalam desa tersebut di daerah Bali, terutama perang pandan itu sendiri.
Karena dengan melestarikan kebudayaan tersebut, berarti mereka setia pada Tuhan
Yang Maha Esa karena meniru apa yang dilakukan oleh Dewa Indra sebagai dewa
perang, juga untuk menghormati Dewa Indra dan mengikuti jalannya dewa Indra ke
tempat ia berada. Dewa Indra juga merupakan simbol ibu pertiwi.Perang Pandan
merupakan kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan lainnya, dan mereka sangat
menjunjung tinggi kebudayaan dari leluhur mereka itu. Bahkan dipercayai apabila
ada warga yang menentang kebudayaan tersebut seseorang itu akan mudah terkena
musibah. Namun tidak ada hukuman langsung dari pihak adat, yang mereka yakini
adalah adanya hukuman dari roh-roh yang dipercaya oleh masyarakat Tenganan.
Hingga saat ini, perang pandan berusaha untuk dijaga kelestarianya oleh
masyarakat desa Aga Tenganan. Perang pandan yang dimainkan di tanah lapang
maupun dibale yang tingginya 1 meter ini telah menarik perhatian masyarakat
desa Tenganan dan tidak sedikit pula berhasil menarik perhatian para turis
mancanegara. Hingga pada kehidupan sehari-hari, anak-anak desa Tenganan sudah
terbiasa bermain Perang Pandan (hanya sekedar untuk bermain). Menurut salah
seorang desa Tenganan. Hal itu juga sebagai latihan mempersiapkan dirinya agar
terbiasa dan bisa memainkan perang pandan kelak pada saatnya dewasa. Masyarakat
desa Tengana terbuka mengajarkan perang Pandan kepada siapapun, tidak ada
latihan khusus bagi anak-anak, namun anak-anaklah yang berinisiatif sendiri
untuk memainkan atau meniru bermain perang pandan. Turis wisatawanpun
diperbolehkan untuk memainkan perang pandan dengan syarat memakai pakaian adat
Tenganan.
Salah satu warga desa Tenganan, I Nyoman Parta Gunawan mengatakan:
“Tidak
ada perubahan sama sekali dalam tata cara, pakaian, dan waktunya. Karena
masyarakat tidak berani merubah-rubah apa yang telah di wariskan oleh para
leluhur kepada kita. Kita sangat menghormati apa yang telah di berikan oleh
para leluhur. Sehingga tidak ada perubahan hingga saat ini.Tak ada penambahan
dan pengurangan dalam Perang Pandan ini”.
Pada kenyataannya saat ini memang tidak ada perubahan
secara teknis dalam pelaksanaan perang pandan, tetapi perang pandan yang semula sakral
pun menjadi profan, orang luar tidak hanya menonton, namun mereka pun boleh
ikut bertarung dan
berpartisipasi dalam perang pandan. Saat ini perang pandan menjadi penarik Pariwisata dan
berpengaruh dalam pemasok perekonomian masyarakat desa Tenangan.
KESIMPULAN
Dari
paparan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1)
Proses
berlangsungnya perang pandan dilaksanakan pada setiap bulan purnama (antara
akhir Juni atau awal Juli) satu tahun sekali, berdasarkan kalender Tenganan,
syarat perang pandan dimainkan oleh laki-laki minimal berusia 8 tahun berni
terkena duri (satu kali pertandingan dua orang laki-laki). Peralatan yang
diperlukan yaitu daun pandan dan tameng yang terbuat dari rotan.
2)
Fungsi
perang pandan yaitu sebagai penghormatan kepada dewa indra.
·
Sebagai
upaya menciptakan keseimbangan antara dunia natural dengan supranatural
·
Sebagai
arena untuk mempertunjukan kejantanan dan keperwiraan.
·
Sebagai
fungsi pariwisata
3)
Eksistensi
tradisi perang pandan yaitu masyarakat desa tenganan berusaha untuk selalu
menjaga dan melestarikan tradisi perang pandan serta selalu akan dilaksanakan
setiap tahunya. Secara teknis tidak ada perubahan dalam peraturan perang
pandan, namun saat ini perang pandan menjadi provan bagi masyarakat Tenganan
untuk menarik pariwisata.
DAFTAR PUSTAKA
ANGGOTA KELOMPOK LIMA
TRADISI KHUSUS (TRADISI PERANG PANDAN)
NAMA
|
NIM
|
ROMBEL
|
Nur Khayati
|
3401412003
|
1
|
Doni Fajar
Rahmanto
|
3401412048
|
1
|
Miftakhul
Janah
|
3401412051
|
1
|
Solikhatun
Nikmah
|
3401412056
|
1
|
Dani Atika
|
3401412088
|
2
|
Supriyadi
|
3401412098
|
2
|
Laela
Dwi Hapsari
|
3401412107
|
2
|
Briliani
Avita Dewi
|
3401412118
|
2
|
Lina Fauzal
M
|
3401412158
|
3
|
Lina Fauzal
M
|
3401412165
|
3
|
Elva Falasefa
|
3401412168
|
3
|
Fitrianingsih
|
3401412180
|
3
|
Devi Setyani
|
3401412015
|
4
|
Silvi Ayu
Aprilia
|
3401412092
|
4
|
Asrul Ikhwan Maulana
BalasHapusX TP 2
09